Selasa 23 Oct 2018 23:09 WIB

Metode KSA BPS Tepat Perbaiki Data Produksi Padi

Indonesia alami surplus beras 29,50 juta ton selama 2018.

Red: EH Ismail
Ilustrasi padi melimpah
Ilustrasi padi melimpah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data produksi beras terbaru dengan menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA). Metode tersebut mulai digunakan sejak Januari 2018 untuk memperbaiki data produksi padi.

Hasilnya, berdasarkan rilis BPS terkoreksi data pangan yakni luas baku sawah yang berkurang dari 7,75 juta hektar tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektar pada 2018. Sementara potensi luas panen tahun ini mencapai 10,9 juta hektar, produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras dan konsumsi sebesar 29,50 juta ton. Dengan demikian, Indonesia mengalami surplus beras 29,50 juta ton selama 2018.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengapresiasi langkah pemerintah yang mengoreksi data produksi beras tersebut agar kebijakan impor tidak perlu dilakukan. “Jika kebijakan yang dikeluarkan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti impor beras, berpotensi menyengsarakan banyak orang,” kata Hendri di Jakarta, Selasa (23/10).

Data terbaru BPS bahwa produksi beras Indonesia selama 2018 surplus 2,80 juta ton ini pun sesuai dengan hitungan ekonom senior Universitas Indonesia, Rizal Ramli. Dalam diskusi khusus mengenai impor pangan, RR sapaan akrabnya menegaskan impor beras yang dilakukan tahun ini didasari atas kelangkaan beras yang dibuat-buat.

“Sebab, dalam kenyataannya, beras dalam keadaan cukup. Kalau kelangkaan yang benar, itu baru kita boleh impor. Tapi, ini direkayasa. Kebutuhan impornya ini karena emang pejabat doyan banget impor," tegasnya.

Menurut RR, impor beras mengorbankan petani. Keuntungan yang seharusnya petani peroleh saat panen hilang karena harga beras anjlok akibat membanjirnya beras impor di pasar. “Kebijakan impor di waktu panen ini sadis sekali. Petani pada mau panen ada impor, akhirnya pada nangis semua. Jadi, kalau saya sebut itu sebagai adiktif impor atau kecanduan impor," pungkasnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement