Senin 22 Oct 2018 20:49 WIB

BPS: Data Aram tak Lagi Digunakan

Metode data beras terbaru dapat dimunculkan secara bulanan.

Rep: Rizky Jaramaya / Red: Friska Yolanda
Seorang petani membersihkan rumput liar di antara padi di areal persawahan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (17/9). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) secara nasional pada September 2018 meningkat 0,59 persen.
Foto: ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Seorang petani membersihkan rumput liar di antara padi di areal persawahan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (17/9). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) secara nasional pada September 2018 meningkat 0,59 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) telah menerapkan metode baru yakni Kerangka Sampel Area (KSA), untuk menghitung data produksi beras. Kepala BPS Suhariyanto, data produksi beras dengan metode KSA ini akan menggantikan data angka ramalan (aram) yang selama ini digunakan untuk mengukur produksi beras nasional.

"Jadi, tidak akan ada aram lagi, BPS tidak akan mengeluarkan aram lagi," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Kantor Wakil Presiden, Senin (22/10).

Suhariyanto mengatakan, perhitungan data produksi beras dengan metode KSA memiliki kelebihan ketimbang data aram. Di antaranya data produksi dengan metode KSA bisa dimunculkan secara bulanan, dan bisa langsung dilihat potensinya. 

"Potensi berdasarkan foto, sehingga angka (dengan metode KSA) inilah yang akan menjadi angka resmi ke depannya," kata Suhariyanto. 

Adapun sejak tiga tahun lalu, pemerintah telah berupaya secara konkrit untuk memperbaiki metodologi perhitungan produksi beras. Upaya penyempurnaan ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan perhitungan produksi beras, yang diduga sudah terjadi sejak 1997.

Terkait dengan penyempurnaan metode perhitungan produksi beras ini, wakil presiden memimpin rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Penyempurnaan metode perhitungan produksi beras dilakukan secara komprehensif untuk seluruh tahapan. Mulai dari perhitungan luas lahan baku sawah nasional, perhitungan luas panen, perhitungan produktivitas per hektare, dan perhitungan konversi gabah kering menjadi beras. Metode perhitungan produksi beras ini dilakukan oleh lintas kementerian/lembaga seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 

"Alangkah baiknya jika kita semua berpikir positif menyajikan data yang betul supaya kebijakan ke depan bisa lebih bagus," ujar Suhariyanto. 

Kementarian Agraria dan Tata Ruang telah memperbarui luas lahan baku sawah. Pada 2013 luas lahan baku sawah sebesar 7,75 juta hektare, sedangkan pada 2018 berdasarkan hasil verifikasi, luas lahan baku sawah sebesar 7,1 juta hektare. Artinya, selama lima tahun terakhir terjadi penurunan sebesar 635 ribu hektare.

Data tersebut menjadi dasar perhitungan untuk mengestimasi angka produksi dengan menggunakan Metode Kerangka Sampel Area (KSA). Dengan metode tersebut, maka luas panen padi pada tahun 2018 diperkirakan 10,9 juta hektare. Dengan luas panen yang diperkirakan sebesar 10,9 juta hektare, maka rata-rata indeks per tanaman yakni 1,53. Suhariyanto menjelaskan, berdasarkan perhitungan potensi produksi sampai Desember 2018, maka diperkirakan total produksi Gabah Kering Giling (GKG) 2018 sebesar 56,54 juta ton atau setara dengan 32,42 juta ton beras.

Selain itu, BPS juga mengungkapkan, konsumsi beras secara langsung di tingkat rumah tangga maupun konsumsi tidak langsung yang telah dimutakhirkan pada 2017 adalah 111,58 kg per kapita per tahun atau 29,57 juta ton per tahun. Dengan demikian bila diasumsikan, konsumsi beras yang telah disesuaikan untuk 2018 yakni sama dengan 2017, maka selama 2018 terjadi surplus beras sebesar 2,85 juta ton. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement