REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, saya sering mendengar bahwa suatu transaksi dilarang atau diharamkan karena ada unsur maisir. Apa kriteria maisir sehingga suatu transaksi itu dilarang? Mohon penjelasan ustaz.
Fajar - Balikpapan
Jawaban:
Waalaikumussalam wr wb.
Para ulama sepakat bahwa maisir diharamkan dalam Islam sesuai firman Allah Swt : "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (al Maidah : 90).
Dalam ushul fikih, lafadz fajtanabihu adalah shigat yang digunakan Allquran bermakna larangan atau haram. Maka maisir itu diharamkan denga nash Alquran ini.
Ada dua istilah populer yang menunjukkan makna maisir, kedua istilah tersebut adalah maisir dan qimar. Setelah menelaah beberapa literatur fikih, maka bisa disimpulkan bahwa maisir dan qimar bermakna sama.
Menurut bahasa, maisir adalah judi pada masa jahiliyah. Juga sering diistilahkan dengan juzur, siham, dan nard al-qadh liqtisamil juzu’.
Substansi maisir dalam praktik jahiliyah adalah taruhan (mukhatarah/murahanah), mengadu nasib dan istilah lain yang semakna. Maksudnya setiap pelaku maisir bertaruh untuk menjadi pemenang atau pihak yang kalah. Qimar juga maknanya sama seperti maisir yaitu adalah setiap taruhan dimana menang atau kalah ditentukan oleh sesuatu yang tidak diketahui.
Maka substansi qimar dan maisir adalah taruhan, mengadu nasib dan istilah lain yang semakna. Yakni setiap pelaku qimar bertaruh untuk menjadi pemenang atau pihak yang kalah.
Dengan penjelasan di atas, maka kita bisa menyimpulkan, bahwa qimar dan maisir bisa diartikan setiap permainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut. Setiap permainan atau pertandingan, baik berbentuk game of chance, game of skill ataupun natural events, harus menghindari terjadinya zero sum game, yakni kondisi yang menempatkan salah satu atau beberapa pemain harus menanggung beban pemain lain.
Taruhan dalam perjudian adalah kebalikan dari usaha terencana dan berbeda pula dengan risiko. Karena, taruhan yang terjadi dalam judi berarti sesorang mempertaruhkan harta yang bisa menjadi pemenang atau kalah. Dalam Islam taruhan ini bukan menjadi sebab kepemilikan.
Syeikh Prof Dr Rafiq Yunus al Mishri menyimpulkan, bahwa sebuah transaksi atau permainan bisa dikategorikan maisir jika terdapat unsur berikut:
Pertama, taruhan (mukhatarah/murahanah) dan mengadu nasib sehingga pelaku bisa menang dan bisa kalah. (Rafiq Yunus al-Mashri, al Maisir, (Damaskus, Dar al-Qalam), cet. II 2001.)
Kedua, seluruh pelaku maisir mempertaruhkan hartanya, pelaku judi mempertaruhkan hartanya tanpa imbalan (muqabil).
Dalam judi, yang dipertaruhkan adalah uang yang diserahkan. Hal itu berbeda dengan bisnis dimana yang dipertaruhkan adalah kerja dan risiko bisnis.
Sebagaimana penegasan Ibnu Taimiah: "Risiko terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah risiko bisnis, yaitu seseorang yang membeli barang dengan maksud menjualnya kembali dengan tingkat keuntungan tertentu dan dia bertawakkal kepada Allah atas hal tersebut. Ini merupakan risiko yang harus diambil oleh para pebisnis.... bisnis tidak mungkin terjadi tanpa hal tersebut. Yang kedua adalah maisir yang berarti memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Spekulasi inilah yang dilarang Allah dan RasulNya". (Ibnu Taimiyah, Majmu’ fatwa.)
Ketiga, pemenang mengambil mengambil hak orang lain yang kalah, karena setiap pelaku juga tidak memberi manfaat kepada lawannya. Ia mengambil sesuatu dan yang kalah tidak mengambil imbalannya.
Maisir tidak terbatas pada judi, domino dan semacamnya, tetapi juga termasuk setiap permainan yang memenuhi kriteria maisir sebagaimana disebutkan di atas. Semoga Allah melindungi kita dan masyarakat dari perilaku yang terlarang ini. Wallahu a’lam.