REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Vincen Gowan menjelaskan, tren perdagangan ke depan mengarah kepada integasi antara platform dalam jaringan (daring) dengan luar jaringan (luring). Kombinasi antara dua platform yang kerap disebut multichannel ini mampu mengakomodir pasar yang sudah akrab dengan dunia digital maupun kelompok gagap teknologi.
Vincen menjelaskan, tren tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan negara lain terutama Cina yang ekonomi digitalnya sudah berkembang pesat. "Tren ini tergambar dalam pertemuan Cross Border e-Commerce tingkat Asia pada tahun lalu. Perdagangan masa depan adalah online dan offline dalam satu waktu," ujarnya dalam konferensi pers Future Commerce Indonesia (FCI) di Jakarta, Selasa (9/10).
Vincen menambahkan, banyak pengusaha masih salah pemahaman dengan hanya fokus terhadap pasar online. Padahal, bisnis online di Indonesia baru menyumbang sekitar 1,5 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan sisanya masih didominasi offline. Pangsa pasar offline yang besar disebabkan belum meratanya penguasaan teknologi di kalangan masyarakat dan rasa nyaman terhadap sistem jual-beli tradisional.
Vincen mengajak para pengusaha untuk mengikuti jejak perusahaan raksasa asal Cina, Alibaba. Bisnis online di Negeri Tirai Bambu telah berkontribusi 15 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Tapi, Alibaba sudah mempertimbangkan perluasan ke platform offline sejak 2017 dengan membuka toko. "Mereka sudah melihat tren commerce ke depan yang memadukan antara dua platform ini," ucapnya.
Ajakan Vincen tidak hanya berlaku untuk pengusaha besar, juga ke tingkat mikro, kecil dan menengah atau UMKM. Sebab, lebih dari 90 persen lini bisnis di Indonesia diisi oleh UMKM yang kini telah memberikan kontribusi 60 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Apabila mereka sudah memanfaatkan dua platform, Vincen optimistis, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa semakin menunjukkan tren positif.
Chief Strategy and Corporate Planning Sicepat Donny Wardhana menuturkan, skema perdagangan yang memadukan platform online dan offline atau kerap disebut O2O ini sebenarnya sudah ada di Indonesia. Setidaknya 20 sampai 25 persen pengusaha telah menerapkannya seperti Hijup dan Berrybenka yang memiliki popup store dan offline store.
Donny menilai, potensi bisnis O2O akan semakin besar mengingat kepercayaan masyarakat Indonesia yang masih tinggi terhadap toko konvensional. Skema ini juga diyakini dapat memudahkan konsumen. "Misalnya, ketika kita datang ke offline store suatu brand, lalu nggak dapet ukurannya, kita tinggal klik situs dia untuk cari-cari. Pengirimannya bisa dikirim pakai jasa logistik atau ambil sendiri di offline store itu," ucapnya.
Melalui sistem O2O, Donny menilai, logistik yang menjadi isu utama dalam belanja online bisa teratasi. Sebab, suatu merek tidak perlu mengirim barang dari gudang pusat saja, melainkan toko offline yang sudah tersebar di berbagai daerah. Selain mengurangi biaya logistik, merek tersebut bisa memiliki nilai tambah dari segi pengalaman konsumen karena barang dikirim lebih cepat.
Donny mengakui, sistem O2O memang membutuhkan modal besar di awal, tapi akan menghasilkan dampak positif secara berkelanjutan. "Ini yang harus mulai dipikirkan ekosistem perdagangan Indonesia," katanya.