Senin 08 Oct 2018 16:57 WIB

Pemerintah Harus Segera Tekan Ekspor Bahan Mentah

Pemerintah juga sebaiknya mempertimbangkan diversifikasi produk ekspor.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Kapal tunda (tug boat) melintas di dekat Terminal Nilam, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (4/10). Berdasar data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia periode Januari Agustus 2018 mencapai US$120,10 miliar atau meningkat 10,39 persen dibanding  periode yang sama tahun 2017.
Foto: Ronny Muharman/Antara
Kapal tunda (tug boat) melintas di dekat Terminal Nilam, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (4/10). Berdasar data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia periode Januari Agustus 2018 mencapai US$120,10 miliar atau meningkat 10,39 persen dibanding periode yang sama tahun 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menjelaskan, ekspor selama 10 sampai 20 tahun terakhir didominasi oleh bahan mentah. Dampaknya, nilai tambah yang didapatkan relatif rendah dibandingkan ketika Indonesia bisa mengekspor produk jadi. Secara tidak langsung, kondisi ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Andry menjelaskan, pemerintah harus mulai memikirkan strategi untuk secara struktural beralih dari ekspor bahan mentah ke produk jadi. Komoditas ekspor harusnya diproses dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah dan memberikan peluang kerja. "Anjuran shifting ini sudah sejak lama dikeluarkan, tapi belum bisa dijalankan maksimal," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (8/10).

Selain itu, Andry menambahkan, pemerintah juga sebaiknya mempertimbangkan diversifikasi produk ekspor. Selama ini, Indoneisa baru mengekspor sekitar 83 item selama 10 tahun terakhir. Kondisi ini berbeda jauh dibanding dengan Vietnam yang mampu mengekspor 1.000 item sepanjang lima tahun belakangan.

Dengan variasi item ekspor yang lebih tinggi, ekspor Vietnam berpotensi terus unggul dari Indonesia. Terlebih, ekspor Vietnam dipenuhi barang elektronik yang nilai tambah ke negaranya lebih besar dibandingkan mengirim barang setengah jadi ataupun mentah seperti Indonesia. 

"Sekiranya cukup waktu empat tahun untuk memulai diversifikasi produk ini," ucap Andry.

Dalam diversifikasi produk, Andry menilai, industri otomotif dalam hal perakitan mobil memiliki peluang paling besar untuk dikembangkan. Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia dan bahan baku yang terbilang memadai. Pemerintah kini juga sudah mulai menaruh prioritas terhadap pendidikan vokasi di bidang otomotif.

Tantangan terbesar dalam pengembangan otomotif adalah standarisasi. Ketika ekspor ke negara maju, produk Indonesia harus mengikuti standar mereka. Di antaranya, penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan. Tapi, dengan sikap pemerintah yang mulai fokus ke pengembangan mobil listrik bisa menjadi langkah awal tepat.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong industri di dalam negeri agar semakin meningkatkan nilai tambah dari bahan baku yang diimpor. Upaya hilirisasi ini guna meningkatkan manfaat bagi perekonomian nasional, misalnya dari hasil kegiatan ekspor.

Salah satu contoh adalah pada industri tekstil yang saat ini masih impor kapas dari Amerika Serikat. "Kita dapat kembalikan ke sana lagi dengan produk jadi garmen. Itu yang lebih baik," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto seusai menjadi pembicara pada The 6th US-Indonesia Investment Summit 2018 di Jakarta, Kamis (27/9).

Kemenperin tengah memacu peningkatan ekspor produk manufaktur nasional ke berbagai negara, termasuk Amerika. Selain komoditas pakaian, pemerintah juga fokus terhadap produk tekstil, dan sepatu. Langkah menggenjot ekspor ini diyakini akan mendongkrak produktivitas dan penyerapan tenaga kerja industri.

Baca juga, Mentan Amran Lepas Ekspor Tiga Komoditas Hortikultura

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement