REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Didik Suharjito menilai, Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk menghasilkan biomassa merupakan program pemerintah yang strategis. Program ini bisa menjadi jawaban atas keinginan masyarakat untuk memiliki lahan yang memberikan hasil cepat. Dengan tanaman energi, mereka dapat memanen dalam waktu dua sampai tiga tahun.
Namun, menurut Didik, HTE memiliki permasalahan di luar tingkat masyarakat, yakni pemasaran. Harga energi biomassa masih lebih tinggi dibanding dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) di pasaran. "Jadinya, masih sulit terjangkau untuk konsumen," ujarnya saat ditemui Republika di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Permasalahan tersebut sering didengar Didik dari pelaku industri yang sudah mencoba mengembangkan biomassa. Mereka mengemukakan, harga biomassa di pasaran belum dapat bersaing atau tidak kompetitif.
Biomassa sebenarnya sudah memiliki pangsa pasar, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang sudah aktif menggunakan energi terbarukan. Tapi, di sana, tingkat kompetisi antara biomassa dengan BBM sudah lebih baik melalui kebijakan pemerintah.
"Sedangkan, di Indonesia belum. Apalagi, BBM kita disubsidi," ucap Didik yang merupakan ketua presidium Dewan Kehutanan Nasional periode 2017-2018 itu.
Apabila ingin biomassa lebih diterima di masyarakat Indonesia, Didik menganjurkan agar pemerintah mencabut subsidi BBM. Hal ini perlu dilakukan sekaligus untuk mendukung diversifikasi produk dan memberi pilihan lebih beragam kepada masyarakat.
Didik mengakui, kompetisi biomassa di pasaran bukanlah permasalahan mudah. Sebab, kebijakan di sektor energi juga ada sangkut paut dengan bisnis, di mana bisnis BBM memiliki banyak pemain. Dampaknya, tidak mudah untuk masuk dan melakukan intervensi di tengah pemain yang bersikeras mempertahankan bisnisya itu.
Biomassa memiliki berbagai nilai positif. Di antaranya dari sisi lingkungan yang lebih ramah dibandingkan fosil. Konsep HTE tidak menambah kekhawatiran dengan perambahan hutan karena memanfaatkan lahan yang sudah ada, yakni hutan produksi. Panennya pun dapat dilakukan dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun, lebih cepat dibanding dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang membutuhkan tujuh tahun untuk menjadi pulp and paper.
Tapi, dengan dampak positif yang ada tidak lantas membuat pemerintah harus membuat seluruh hutan menjadi HTE. Didik menjelaskan, diversifikasi tetap dibutuhkan untuk menghasilkan produk hutan yang bervariasi.
"Kita harus pantau, kawasan mana yang punya potensial untuk dikembangkan sebagai energi dan mana yang untuk produk kertas dan kayu bangunan," ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menjelaskan, diversifikasi usaha sudah menjadi fokus perhatian asosiasi sejak dua tahun terakhir. Di antaranya untuk menghasilkan biomassa yang juga berpotensi sebagai energi terbarukan.
Industri energi biomassa yang sudah berjalan biasanya ada di hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan limbah. Indroyono menjelaskan, ketika memanen tanaman di hutan, setidaknya 30 persen limbah dihasilkan. "Biasanya limbah ini didiamkan saja yang sekarang mulai beralih untuk pemanfaatan biomassa," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (7/10).
Tapi, Indroyono menganjurkan agar pemerintah mempertimbangkan mengubah pajak atau pungutan dalam produksi kayu. Selama ini, kayu tersebut masih dianggap sebagai kayu kecil, sehingga pajaknya relatif mahal dan tidak ekonomis.
Baca juga, Baru Sedikit Pengusaha Lirik Biomassa