Ahad 07 Oct 2018 06:30 WIB

Regulasi EBT Dinilai Hambat Investasi Pembangkit Mikrohidro

PLTMH yang telah dibangun dan dioperasikan selama 20 tahun akan jadi milik pemerintah

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Pembangkit Listrik Mikrohidro
Foto: Badan Wakaf Alquran
Pembangkit Listrik Mikrohidro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah poin dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 dianggap masih menghambat investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Ketua Asosiasi PLTMH, Riza Husni mngatakan saat ini peluang untuk membuat PLTMH sudah sangat baik dan lebih murah jika dibandingkan dengan pembangkit listrik sumber lain yang sama-sama baru.

Namun, menurut Riza, para pelaku industri kesulitan karena terhambat investasi yang terus lesu. Perusahaan besar, kata dia, masih bisa bertahan dengan memperoleh dana dari perbankan atau penerbitan obligasi atau sukuk.

"Namun yang kecil kesulitan mewujudkannya," ujarnya kepada Republika baru-baru ini.

Menurutnya, selama dua tahun ini harga bagus tapi tidak ada yang bisa membangun. "Tidak ada lembaga keuangan yang mau memberi investasi pada PLTMH skala kecil," tuturnya.

Selain itu, ungkapp Riza, penerbitan sukuk pun dikhawatirkan karena tidak banyak diminati investor. Hal ini menurutnya karena Permen ESDM Nomor 50 tentang Sumber Energi Terbarukan (EBT).

Lebih lanjut Riza menuturkan, Permen ESDM tersebut mengharuskan semua PLTMH yang telah dibangun dan dioperasikan selama 20 tahun menjadi milik pemerintah dengan valuasi 1.000 dolar AS bukan nilai pasar. Selain itu, Permen ESDM ini tidak mengizinkan perubahan investor selama pembangungannya.

"Dua ketentuan tadi membuat investor pada lari, padahal kita juga ingin menggunakan //green sukuk// dan pembiayaan dengan syariah," kata Riza.

Industri EBT menjadi potensi besar pengembangan sukuk hijau di Indonesia. Selain menjadi jalan perwujudan untuk Strategi Energi 2030 juga bisa menggeliatkan keuangan syariah yang dapat menjadi sumber penguatan baru perekonomian nasional.

Target sampai dengan 2030 adalah pengurangan 40 persen emisi gas rumah kaca, peningkatan 27 persen pangsa energi terbarukan, kenaikan efisiensi energi sebesar 27 persen di tingkat Uni Eropa dan mendukung pasar energi dengan memenuhi target interkoneksi listrik sebesar 10 persen sampai dengan 2020.

Riza meminta agar permen itu direvisi atau dibatalkan sekalian oleh MA jika mau target itu tercapai. Saat ini industri EBT baru delapan persen sedangkan targetnya 27 persen. Padahal, menurutnya, industri EBT seharusnya bisa berkembang pesat di Indonesia.

Selain itu, pembuatan Permen No. 50 juga tidak melibatkan para pelaku usaha. Asosiasi menurutnya telah meminta dialog dengan otoritas, khusus dengan Menteri ESDM, Ignasius Jonan namun tidak ada titik cerah hingga saat ini.

"Semua pelaku usaha ini sudah gerah, kita ingin industri berjalan tapi malah dihambat oleh otroitasnya sendiri," kata dia.

EBT menjadi potensi besar karena sedang berkembang dan lebih murah daripada energi fosil. Ia mendesak otoritas untuk segera membuat kebijakan yang ramah terhadap investor agar industri kembali bergeliat.

Untuk diketahui biaya pembangunan PLTMH yakni dua juta dolar AS per megawatt. PLTMH kelas kecil yakni rata-rata dibawah 10 megawatt dan PLTMH kelas besar berkapasitas diatasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement