Kamis 04 Oct 2018 07:57 WIB

Uni Eropa Pertimbangkan Sanksi Perdagangan untuk Myanmar

Ekspor Myanmar ke Uni Eropa senilai 1,56 miliar euro pada 2017.

Rep: Marniati/ Red: Friska Yolanda
Rohingya
Foto: AsiaNews
Rohingya

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa sedang mempertimbangkan sanksi perdagangan terhadap Myanmar atas krisis Rohingya. Para pejabat Uni Eropa mengatakan sanksi-sanksi itu akan mencakup industri tekstil Myanmar. 

Ini berpotensi mengancam ribuan pekerjaan. Sanksi tidak akan langsung berlaku tapi kebijakan ini memberikan pengaruh kepada Uni Eropa untuk menghentikan kekerasan terhadap Rohingya.

Pertimbangan sanksi ini akan menandai perubahan signifikan dalam kebijakan Uni Eropa. Uni Eropa akan melakukan peninjauan selama enam bulan untuk memberlakukan sanksi perdagangan atau membatalkannya. Sanksi itu dapat dibatalkan jika Myanmar memenuhi target kemanusiaan dan demokratis. 

Dorongan langkah itu karena laporan PBB pada Agustus yang menuduh militer Myanmar melakukan pembunuhan terhadap Rohingya dengan 'niat genosida'. Menurut para pejabat Uni Eropa langkah jarang Amerika Serikat (AS) yang  memberikan sanksi pada dua unit militer, telah memberi tanggung jawab pada Uni Eropa untuk bertindak.

"Kami prihatin tentang dampak pada populasi dari langkah-langkah potensial kami, tetapi kami tidak dapat mengabaikan laporan PBB yang menggambarkan kampanye militer sebagai genosida," kata seorang pejabat Uni Eropa dalam pembahasan di Komisi Eropa. Komisi Eropa bertanggung jawab atas kebijakan perdagangan Uni Eropa.

Sampai saat ini, Uni Eropa telah memberlakukan larangan perjalanan dan pembekuan aset pada beberapa anggota militer Myanmar. Namun, Uni Eropa tidak menjatuhkan sanksi pada panglima tertinggi Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Menurut PBB, Min Aung Hlaing harus dituntut bersama dengan lima orang lainnya atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Myanmar telah menolak temuan PBB. Myanmar mengatakan aksi militer yang diikuti serangan militan terhadap pasukan keamanan pada Agustus tahun lalu adalah operasi kontra pemberontakan yang sah.

Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay belum bersedia berkomentar mengenai kemungkinan sanksi Uni Eropa. Dia mengatakan bulan lalu bahwa tidak akan lagi berbicara kepada media melalui telepon. Pernyataan pers akan disampaian pada konferensi pers setiap dua pekan.

Pejabat Uni Eropa percaya bahwa ancaman resmi untuk kehilangan akses bebas tarif akan cepat berdampak pada investasi asing di industri pakaian jadi, dimana pabrikan Eropa mengambil keuntungan dari biaya tenaga kerja yang relatif murah di Myanmar. "Menghapus akses bebas biaya pajak ini adalah langkah terakhir, tetapi kita harus bertindak jika langkah-langkah lain tidak membuahkan hasil," kata seorang pejabat Uni Eropa yang terlibat dalam diskusi.

Perusahaan-perusahaan Eropa yang membeli pakaian dari Myanmar termasuk pengecer Adidas, C & A, H & M, Inditex, Next dan Primark.

Ekspor Myanmar ke Uni Eropa senilai 1,56 miliar euro pada 2017. Nilai ini hampir 10 kali lipat dari nilai pada 2012, setelah Uni Eropa memberi status perdagangan 'Everything But Arms' kepada Myanmar.

Status itu berarti Myanmar dapat menjual barang apa pun yang bebas tarif ke blok Uni Eropa, kecuali senjata. Uni Eropa adalah mitra dagang keenam terbesar Myanmar dan sumber penting investasi  asing secara langsung.

Industri pakaian Mynamar adalah penghasil ekspor teratas setelah minyak dan gas. Menurut asosiasi industri MGMA, industri ini menghasilkan lebih dari 2 miliar dolar AS dalam ekspor dan memberi 450 ribu pekerjaan tahun lalu.

Baca juga, India Berencana Deportasi Muslim Rohingya

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement