REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Para pelaku usaha (stakerholder) diminta menjaga iklim usaha perunggasan yang lebih kondusif. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengatasi penurunan harga ayam broiler hidup (live bird) di tingkat peternak.
"Terkait dengan adanya kelebihan pasokan yang terjadi saat ini kita minta kepada semua pelaku usaha untuk melakukan usaha pemotongan, penyimpanan dan pengolahan," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan I Ketut Diarmita, Kamis (27/9).
Pasar untuk komoditi unggas di Indonesia saat ini didominasi fresh commodity sehingga produk mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply demand menjadi faktor penting penentu harga. Untuk itu, Ketut berharap agar hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar melainkan ayam beku, ayam olahan, ataupun inovasi produk lainnya.
"Kami meminta kepada pelaku usaha untuk melakukan pemotongan di RPHU (Rumah Potong Hewan Unggas) dan memaksimalkan penyerapan karkas untuk di tampung dalam cold strorage yang akan disimpan sebagai cadangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan," ujarnya.
Setelah memperhatikan situasi dan kondisi tentang harga ayam broiler hidup saat ini, dia berharap harga di tingkat peternak atau farm gate pada Jumat (28/9) dapat kembali normal.
Untuk wilayah Jabodetabek, berharap agar ayam broiler hidup dengan berat 1,8 kg per ekor sampai dengan 2,2 kg per ekor dijual dengan harga minimal Rp 16 ribu. Diharapkan, harga tersebut akan naik menjadi Rp 17 ribu per kg. Untuk wilayah Tasikmalaya, Bandung, Subang, ia berharap bisa mencapai harga Rp 15 ribu hingga Rp 16 ribu per kg. Sedangkan Jawa Tengah setidaknya dapat mecapai Rp 14.500 hingga Rp 16 ribu per kg.
Harga di Jatim diharapkan dapat mencapai Rp 16 ribu hingga Rp 16.500 per kg, sedangkan Lampung mencapai kisaran Rp 16 ribu hingga Rp 17 ribu per kg.
"Dengan naiknya harga ayam broiler hidup secara bertahap diharapkan awal bulan Oktober 2018 sudah dapat mencapai harga sesuai dengan harga acuan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan," ujarnya.
Menurutnya, kondisi daging ayam nasional pada tahun ini surplus, bahkan sudah ekspor. Potensi produksi karkas pada 2018 ini berdasarkan realisasi produksi DOC (Januari-Juni 2018) dan potensi (Juli-Desember 2018) sebanyak 3.382.311 ton dengan rataan perbulan sebanyak 27.586 ton. Sedangkan proyeksi kebutuhan daging ayam tahun 2018 sebanyak 3.051.276 ton, dengan rataan kebutuhan per bulan sebanyak 254.273 ton.
"Kelebihan produksi ini yang kita sasar untuk tujuan ekspor, ini yang selalu kami imbau ke perusahaan integrator untuk terus menggenjot ekspor," ujarnya.
Ekspor telur tetas ayam ras ke Myanmar, Day Old Chicken (DOC) ke Timor Leste dan produk daging ayam olahan ke Jepang, Papua Nugini serta Myanmar.
Pemerintah saat ini juga terus berupaya mendorong peningkatan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia yang masih rendah. Dengan meningkatnya konsumsi protein hewani, maka akan berdampak terhadap peningkatan permintaan produk hewan, termasuk daging unggas, sehingga dapat menyerap pasokan unggas di dalam negeri.