REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) DKI Jakarta, Koesmedi Priharto mengharapkan penyelesaian defisit BPJS Kesehatan untuk jangka panjang. Ia menilai, suntikan dana hanya untuk mengatasi permasalahan jangka pendek.
"Sementara mungkin menolong tapi kalau sampai akhir tahun tidak meningkat pembayaran preminya, maka ini akan terjadi lagi," kata Koesmedi, dalam rapat bersama dengan Komisi IX, di kompleks Senayan, Senin (17/9).
Selain itu, ia juga berpesan agar dibuat peraturan yang tetap. Ia merasa peraturan soal BPJS Kesehatan terlalu banyak mengalami perubahan sehingga pihaknya mengalami kesulitan.
"Ini harus menjadi sebuah pikiran. Pada waktu BPJS mengambil langkah, jangan membuat kami susah melakukan langkah itu," kata dia menegaskan.
Sementara itu, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Fachmi Idris mengungkapkan dirinya memang kesulitan mengatasi defisit. Hal yang menurut dia sangat memberatkan adalah iuran yang dinilai kurang tinggi.
"Ada posisi bahwa iuran itu underprice (terlalu rendah), kalau kita bicara dalam konteks jangka panjang," kata Fachmi, dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, di kompleks Senayan, Senin (17/9).
Ia memberikan data premi yang minus pada masyarakat pengguna BPJS Kesehatan setiap bulannya. Bahkan, jumlah minus tersebut mengalami penambahan dari tahun 2016 sampai 2017.
Pada 2016, biaya per orang setiap bulannya mencapai Rp 35.802 padahal premi per orangnya hanya Rp 33.776. Sementara itu pada tahun 2017, per orang biayanya mencapai Rp 39.744 namun premi per orang sebesar Rp 34.119. Artinya, pada 2016 ada selisih Rp 2.026 dan pada 2017 Rp 5.625.