Kamis 13 Sep 2018 14:44 WIB

Ekonomi Jatim Disebut Stabil Meski Rupiah Melemah

Imbas pelemahan rupiah hanya terjadi pada impor bahan baku.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas di PT Terminal Petikemas Surabaya, Jawa Timur, Rabu (29/8). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 mencapai US$16,24 miliar atau meningkat 25,19 persen jika dibandingkan dengan ekspor pada Juni 2018.
Foto: Didik Suhartono/Antara
Aktivitas di PT Terminal Petikemas Surabaya, Jawa Timur, Rabu (29/8). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 mencapai US$16,24 miliar atau meningkat 25,19 persen jika dibandingkan dengan ekspor pada Juni 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jawa Timur (Jatim), Difi A Johansyah mengatakan, kondisi Jatim masih relatif stabil terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurut Difi, kestabilan tersebut terjadi karena struktur ekonomi Jawa Timur yang majemuk dibanding daerah lain.

"Jawa Timur relatif aman dan stabil, dampaknya tidak terlalu signifikan (dari pelemahan rupiah). Tapi memang skala minimal ada dampak khususnya untuk ekspor dan impor," kata Difi di Surabaya, Kamis (13/9).

Difi mengatakan, sejauh ini perekonomian Jatim yang lebih majemuk dan komplit mampu menahan gejolak yang terjadi akibat pelemahan rupiah tersebut. Kemajemukan tergambar dari adanya berbagai macam industri di Jatim

"Di Jatim itu ada industri manufaktur, perdagangan, pertanian, termasuk maritim, jadi dampaknya tidak telalu terasa. Itu yang membuat provinsi ini masih relatif aman," ujar Difi.

Bahkan, lanjut Difi, ada beberapa pengusaha Jatim yang mampu menyiasati kondisi pelemahan rupiah untuk meningkatkan nilai tambah dengan mencari pasar baru. Khususnya di bidang peralatan rumah tangga.

Secara nasional, kata Difi, Jatim merupakan eksportir besar sehingga perolehan juga besar. Namun demikian, imbas pelemahan rupiah hanya terjadi pada impor bahan baku yang meningkat.

"Dalam kondisi demikian, memang dibutuhkan kreativitas dari pengusaha, dengan menyiasati berbagai kebutuhan ekspor. Tidak hanya dengan negara lain, tapi antarpulau juga harus didorong," kata Difi.

Difi mengaku, secara umum masih ada yang tumbuh, khususnya perkembangan di rasio loan to value (LTV) atau kredit perumahan yang meningkat dari 100,90 persen pada awal 2018 menjadi 101,98 persen saat ini. Situasi ini terjadi karena adanya ekspansi kredit, dan gencarnya perbankan melakukan promosi.

"Kebijakan kelonggaran LTV yang dibuat BI juga telah menumbuhkan kredit properti dari 6,15 persen menjadi 11,29 persen atau hampir dua kali lipat secara year on year," ujar Difi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement