Senin 10 Sep 2018 21:10 WIB

Pengamat: Krisis Moneter 1998 tidak Akan Terulang Saat Ini

Pemerintah, OJK dan BI memiliki kebijakan yang tepat dan sinkron

Menukarkan Dolar AS. Petugas menghitung mata uang Dolar As warga saat menukarkan mata uang di jasa penukaran mata uang, Jakarta, Rabu (5/9).
Foto: Republika/ Wihdan
Menukarkan Dolar AS. Petugas menghitung mata uang Dolar As warga saat menukarkan mata uang di jasa penukaran mata uang, Jakarta, Rabu (5/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- President Director Center for Banking Crisis (CBC), Deni Daruri menyatakan tidak ada yang perlu ditakuti dari pelemahan rupiah saat ini. Ia mengatakan perekonomian Indonesia jelas lebih unggul ketimbang India, Turki apalagi Argentina. 

Alasannya regulasi sektor keuangan lebih rapi dan sinkron. Jadi, tidak perlu kekhawatiran krisis moneter 1998 bakal terulang di 2018. Hal yang berbeda justru terjadi di negara lain seperti Amerika Serikat. 

"Hal yang sama juga terjadi di India, Turki dan Argentina dimana selalu terlihat adanya perbedaan yang cenderung berlawanan antara kebijakan moneter, keuangan dan fiskal," kata Deni berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (10/9)

Ia mengatakan di India, Argentina dan Turki, lanjutnya, kebijakan moneter tidak peduli dengan pelemahan mata uangnya. Padahal, defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja, jauh lebih besar ketimbang Indonesia. "Sementara itu harmonisasi kebijakan di Indonesia justru semakin mantap dengan terpilihnya Ketua OJK dan Gubernur BI yang baru ini," papar Deni.

Bank Indonesia (BI), kata dia, berencana mengerek suku bunga acuan (BI-7 Days Repo Reserve Rate) ketika Turki mengalami devaluasi mata uang lira. Selain itu, pemerintah Indonesia mengerem impor barang konsumsi dan barang modal untuk kebutuhan konsumsi, pemakaian biofuel serta upaya peningkatan ekspor seperti peningkatan ekspor batubara merupakan upaya kebijakan yang harmonis yang tidak terlihat di Amerika Serikat, Turki, Argentina dan India.

Deni menjelaskan, perekonomian Indonesia saat ini jelas berbeda dengan 1997. Kini, OJK telah menjalankan pengendalian resiko alokasi kredit dengan seksama dengan memantau tiga variable utama yaitu peningkatan standar pemberian kredit (lending standards), peningkatan hambatan kredit (credit constrains), serta peningkatan harga risiko (price of risk).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement