Rabu 05 Sep 2018 15:54 WIB

Gejolak Rupiah Masih dalam Batas Kewajaran

Kondisi saat ini jauh berbeda dengan 1998 sehingga tidak bisa disamakan

Petugas menunjukan pecahan dolar Amerika Serikat di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menunjukan pecahan dolar Amerika Serikat di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mendekati psikologis baru, Rp 15 ribu per dolar AS dinilai masih dalam batas kewajaran. Rupiah disebut menjadi tanggung jawab negara dan seluruh rakyat.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan seharusnya pelemahan rupiah ini tidak perlu ditakutkan. Pasalnya, stabilitas ekonomi dan keuangan tetap terjaga dengan baik.

"Likuiditas terjaga baik, non performing loan (rasio kredit macet atau NPL) di perbankan Indonesia bahkan menurun dibandingkan 2015 dari 3,2 persen menjadi 2,7 persen." kata Mirza.

Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah ini bukan karena faktor dari dalam negeri tetapi lebih pada faktor eksternal. "Aksi jual lira Turki dan peso Argentina sangat berperan pada depresiasi drastis rupiah," jelas dia.

Saat ini memang Turki dan Argentina tengah masih dalam fase ketidakpastian ekonomi. Hal tersebut membuat investor melepas aset-aset beresiko seperti mata uang di negara berkembang termasuk rupiah.

Namun memang, pelemahan rupiah tidak terlalu besar karena kondisi ekonomi makro cukup stabil. Bahkan BI sebelummnya telah melakukan aksi antisipasi dengan menaikkan suku bunga acuan selama beberapa kali.

Aktivis dari Progres 98 Faizal Assegaf mengatakan pelemahan rupiah masih dalam batas kewajaran. Hanya para pengkhianat yang menginginkan ekonomi nasional hancur. "Sampai sejauh ini, gejolak rupiah masih dalam batas kewajaran, badai pasti berlalu," katanya di Jakarta (4/9).

 

Menurut Faizal, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih jauh lebih baik ketimbang saat krisis 1998.  

Saat krisis 1998, hampir seluruh indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi yang tidak baik. Contohnya, pertumbuhan ekonomi yang minus dan inflasi yang melambung tinggi.

Pertumbuhan pada 1998 minus 13,1 persen. Nilai tukar rupiah mencapai Rp 16.650 per dolar AS padahal IHSG pada saat itu hanya 256. Di 2018, ekonomi terus tumbuh menjadi 5,7 persen.  

Saat 1998 cadangan devisa Indonesia hanya 17,4 miliar dolar AS. Kredit bermasalah di perbankan atau Nonperforming Loan (NPL) luar biasa tinggi hingga 30 persen.

photo
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku heran dengan sejumlah pihak yang membandingkan kondisi pelemahan rupiah saat ini dengan krisis ekonomi 1998. Meski nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp 14.800 per dolar AS, namun ia menegaskan bahwa kondisinya jauh berbeda.

"Jangan dibandingkan Rp 14.000 sekarang dengan 20 tahun lalu," kata Darmin usai rapat membahas pelemahan rupiah yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/9).

Darmin memastikan, fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Berbagai kebijakan yang selama ini diambil tetap akan dipertahankan. Hanya saja, pemerintah akan melakukan perbaikan di beberapa sektor, salah satunya transaksi berjalan yang kini mengalami defisit.

"Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang defisit 3 persen. Lebih kecil dari 2014, 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brasil, Turki, Argentina. Tolong membacanya, membandingkannya yang fair," tambah dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement