Senin 03 Sep 2018 11:09 WIB

Impor Diprediksi Dorong Inflasi

Tekanan impor ke inflasi terutama karena pelemahan rupiah.

Rep: Ahmad Fikri Noor / Red: Nur Aini
Inflasi, ilustrasi
Foto: Pengertian-Definisi.Blogspot.com
Inflasi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi memproyeksikan inflasi pada Agustus 2018 sebesar 0,15 persen (month to month/mtm). Sementara, secara tahunan terjadi inflasi sebesar 3,4 persen (yoy).

"Tekanan inflasi datang dari permintaan berkait dengan tahun ajaran baru dan ada tekanan imported inflation karena pelemahan rupiah," kata Eric ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (3/9).

Meski secara keseluruhan diprediksi terjadi inflasi, dia menyebut tetap terdapat potensi deflasi yakni dari kelompok bahan pangan. Beberapa komoditas yang diperkirakan mengalami deflasi adalah cabai dan bawang. Penurunan harga tersebut disebabkan adanya tambahan pasokan.

Hampir serupa dengan Eric, ekonom Institute of Development for Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memproyeksi inflasi pada Agustus berada pada kisaran 0,15 persen (mtm). Bhima mengatakan, hal yang perlu diwaspadai adalah inflasi dari gejolak harga pangan yang secara konsisten dari awal tahun terus naik. "Inflasi kalendernya sudah 4,6 persen sampai Juli. Padahal tahun 2017 hanya 0,71 persen full year. Volatile food ini dipengaruhi pelemahan kurs rupiah atau imported inflation," kata Bhima.

Penyesuaian biaya impor bahan makanan akan berdampak ke harga jual telur, daging ayam, dan daging sapi yang diprediksi masih jadi penyumbang inflasi makanan. Sementara, kata Bhima, beras relatif lebih stabil karena pemerintah terus tingkatkan impor. Bhima menyebut, imported inflation pada Agustus akan mulai terasa.

Dia mengingatkan, pemerintah perlu waspada mulai September dan seterusnya. "Saat ini inflasi tidak terlalu tinggi karena stok barang masih stok lama. Pedagang masih bisa turunkan margin keuntungan agar harga jual stabil. Bulan September ke depan stok barang impor baru menggunakan kurs di atas Rp 14.400 per dolar AS. Di situlah peran imported inflation semakin dominan," kata Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement