REPUBLIKA.CO.ID, KUTA -- Teknologi pascapanen, terutama yang diterapkan untuk menekan kerugian (losses) menjadi isu utama yang diperbincangkan di International Conference on Agricultural Postharvest Handling and Processing (ICAPHP), Kuta, Bali. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Risfaheri mengatakan angkanya di Indonesia berkisar 20-50 persen.
"Permasalahan pascapanen di negara-negara ASEAN hampir sama dan di Indonesia lebih kompleks," kata Risfaheri dijumpai Republika di Bali Dynasti Resort, Kuta, Rabu (29/8).
Losses di Indonesia dialami hampir seluruh komoditi, khususnya pangan dan hortikultura. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Pertanian paling banyak menekan losses tanaman pangan, khususnya padi.
Kerugian pascapanen untuk tanaman padi saat ini rata-rata bisa ditekan hingga tiga persen. Pemerintah, kata Risfaheri mengintroduksi berbagai teknologi, seperti alat pengering. Sistem penjemuran yang baik bisa meningkatkan hasil panen padi secara nasional.
Angka losses komoditi hortikultura di Indonesia merupakan yang tertinggi. Risfaheri mengatakan meski hasil panen besar, namun jika petani tak mampu memperpanjang daya simpan hasil hortikulturanya, maka gejolak harga akan tetap terjadi saat di luar musim.
Selain daya simpan, mekanisme pengangkutan hasil pertanian di lapangan juga disoroti. Indonesia sudah memiliki teknologinya, namun masih belum tersosialisasi dengan baik.
Ratusan peneliti, akademisi, mahasiswa, dan praktisi berbagai lembaga pemerintahan dan swasta bidang pertanian bertemu di ICAPHP, Kuta, Bali. Mereka setidaknya berasal dari 10 negara, yaitu Irlandia, Prancis, Inggris, Australia, Taiwan, Malaysia, Jepang, Thailand, Singapura, dan Indonesia.
Konferensi internasional ini mengusung tema 'Emerging Agriculture Postharvest Technology: Towards Global Market.' Isu yang dibahas tengah berkembang di tingkat internasional, di antaranya krisis energi, usaha kecil mikro, ketahanan pangan, limbah pangan, dan kerugian pascapanen.
Risfaheri mengatakan poin penting yang disampaikan adalah beberapa antisipasi menghadapi peningkatan jumlah penduduk dunia yang diprediksi mencapai 9,15 miliar jiwa pada 2050. Pertumbuhan penduduk tinggi ini pastinya diikuti peningkatan kebutuhan pangan sebesar 60 persen.
Badan penelitian seluruh dunia berperan aktif untuk meningkatkan nilai tambah penanganan dan pengolahan pangan, menekan food losses, mengoptimalkan pengolahan limbah, dan pendekatan hilirisasi dalam konsep agroindustri 4,0.