Kamis 23 Aug 2018 11:15 WIB

Kemenperin Pacu Hilirisasi Industri CPO Tingkatkan Devisa

Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Petani memindahkan buah kelapa sawit yang baru dipanen, di Padangpariaman, Sumatera Barat, Senin (16/7).
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Petani memindahkan buah kelapa sawit yang baru dipanen, di Padangpariaman, Sumatera Barat, Senin (16/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memacu hilirisasi di sektor industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Tujuannya, agas bisa meningkatkan nilai tambah tinggi sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, selama ini, industri pengolahan sawit mampu memberikan kontribusi signifikan bagi Indonesia sebagai produsen dan eksportir terbesar dunia.

Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, pihaknya berupaya agar minyak kelapa sawit dan turunannya bisa diolah dan dijual ke luar negeri. "Tetapi saat ini tengah dikaji agar produk tersebut bisa dijual dan tidak akan ada permasalahan nantinya," katanya dalam rilis yang diterima, Kamis (23/4).

Kemenperin mencatat, banyak dampak positif dari industri kelapa sawit hulu-hilir, termasuk di antaranya menyumbang 20 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada devisa negara rata-rata tiap tahunnya. Sektor ini juga menyerap tenaga kerja sebanyak 21 juta orang, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sejauh ini, Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia dan menguasai 52 persen pasar ekspor minyak sawit. Oleh karena itu, Indonesia berpeluang menjadi pusat industri pengolahan sawit global untuk keperluan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan.

Menurut Putu, ada tiga jalur hilirisasi industri CPO di dalam negeri yang masih potensial untuk terus  dikembangkan. Pertama, hilirisasi oleopangan (oleofood complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product).

Kemudian, hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia, oleokimia dasar sampai pada produk jadi. Di antaranya, produk biosurfaktan (seperti produk detergen, sabun, dan shampoo), biolubrikan (biopelumas) dan biomaterial (contohnya bioplastik).

Selanjutnya, ketiga, hilirisasi biofuel (biofuel complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel. Misalnya, biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur, dan lain-lain.

Terkait dengan hilirisasi biofuel, kini pemerintah tengah serius untuk menerapkan program biodiesel 20 persen (B20) secara penuh di Indonesia, dan memperluas penggunaan B20 di semua kendaraan bermotor. "Program ini dapat meningkatkan pemanfaatan bahan baku lokal serta diproyeksi dapat mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 3,5-4,5 juta liter ton per tahun atau kurang lebih setara dengan 5,5 miliar dolar AS per tahun," ucap Putu.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran (Unpad) Ina Primiana menjelaskan, strategi pemerintah untuk menguatkan hilirisasi di sektor industri pengolahan sawit merupakan salah satu solusi dalam menghadapi pelarangan impor sawit Indonesia ke beberapa negara Uni Eropa. Industri hilir bertugas mengolah sawit di dalam negeri harus bisa menghasilkan produk olahan sawit dalam bentuk yang berbeda untuk memperluas pasar ekspor.

Harga CPO yang dijual mentah hanya senilai 800-1.000 dolar AS per ton atau setara Rp 14,5 juta. Namun, jika minyak sawit itu diolah untuk kebutuhan produksi minyak goreng, harganya akan bertambah menjadi 1.000-1.400 dolar AS per ton atau setara Rp 20,3 juta.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement