REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bio Farma (Persero) tengah mengembangkan produk vaksin Measles Rubella (MR). Corporate Secretary PT Bio Farma Bambang Heriyanto mengatakan Bio Farma sedang melakukan riset produk vaksin MR yang tidak menggunakan bahan berunsur haram atau najis dalam proses produksinya.
"Sampai saat ini, Bio Farma sedang mengembangkan atau melakukan riset produk vaksin MR hasil sendiri, kami berupaya agar produk vaksin MR tersebut tidak menggunakan bahan yang berasal dari unsur haram atau najis dalam prosesnya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (21/8).
Namun, Bambang mengatakan pengembangan produk vaksin tersebut membutuhkan waktu lama. “Adapun untuk mengganti salah satu komponen vaksin MR memerlukan riset dan membutuhkan waktu relatif lama, bisa 15 sampai dengan 20 tahun untuk menemukan vaksin dengan komponen yang baru,” ujarnya.
Baca: Vaksin, Koalisi Dokter Muslim Minta Masyarakat Percaya Ahli
Saat ini, lanjut Bambang, hanya produsen vaksin MR dari Serum Institute of India (SII) yang sudah memenuhi syarat. Baik itu aspek keamanan, kualitas, dan keampuhan produk sesuai standar dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Sebelumnya, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan Fatwa Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin Measles Rubella (MR) dari Serum Institute of India (SII) untuk Imunisasi. Menurut Komisi Fatwa MUI, vaksin MR mengandung unsur haram tetapi saat ini boleh digunakan.
"Penggunaan vaksin MR produk dari SII pada saat ini dibolehkan atau mubah karena ada kondisi keterpaksaan atau darurat syar'iyyah, belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci," kata Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof Hasanuddin AF kepada Republika.co.id di Kantor MUI Pusat, Senin (20/8) malam.
Ia menerangkan, penggunaan vaksin MR pada saat ini dibolehkan juga karena ada keterangan dari ahli yang kompeten serta dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi. Di samping itu belum ada vaksin yang halal. Dia juga menjelaskan, kebolehan penggunaan vaksin MR tidak berlaku jika sudah ditemukan ada vaksin lain yang halal dan suci.
Ia menyampaikan, kedua Komisi Fatwa MUI merekomendasikan, pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan mensertifikasi halal produk vaksinnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. "Pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan," ujar Hasanuddin.