REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendorong penyelesaian sengketa kontrak konstruksi melalui dewan sengketa. Langkah ini dinilai lebih efisien ketimbang melalui badan arbitrase atau pengadilan.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin menjelaskan, pembangunan infrastruktur yang sedang gencar dilaksanakan pemerintah dapat menimbulkan potensi terjadinya sengketa konstruksi dalam pelaksanaannya. Menurutnya, upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi dapat digantikan dengan dewan sengketa. Tujuannya, untuk menyederhanakan proses agar mencapai hasil yang lebih cepat, murah dan mengutamakan kesepakatan yang saling menguntungkan.
Dia mengatakan, latar belakang keberadaan dewan sengketa karena banyaknya pekerjaan konstruksi yang secara fisik telah dilaksanakan, namun masih meninggalkan sengketa atau permasalahan legal dan administrasi.
Umumnya, ujar dia, penyelesaian sengketa tersebut berujung di arbitrase atau pengadilan yang sering tak mencapai kesepakatan antar para pihak, sehingga tetap dilakukan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Proses tersebut dianggap memerlukan waktu yang lama dan biaya besar, serta menimbulkan ketidakpastian hukum di antara para pihak.
"Dewan sengketa dapat menghemat waktu, biaya dan bisa menjaga hubungan baik antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Kementerian PUPR mulai melakukan penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi menggunakan dewan sengketa," kata Syarif saat membuka acara Dispute Board International Conference and Workshop, di Yogyakarta, Senin (20/8), melalui keterangan tertulis.
Syarif menjelaskan penerapan konsep dewan sengketa sudah mulai dilakukan, beberapa di antaranya pada paket Pembangunan TPA Sampah di Kota Jambi, Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Jombang. Selain itu, paket Toll Road Development of Cileunyi – Sumedang – Dawuan Phase III (Cisumdawu III), hingga paket Pembangunan Jalan Akses Pelabuhan Patimban.
Pemerintah sudah mengatur penyelenggaraan jasa konstruksi melalui Undang-Undang No 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi. Tujuan dibentuknya UU tersebut adalah untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan jasa konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Selain itu, meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 88 ayat 4 Undang-Undang No 2 Tahun 2017, pilihan pertama penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi adalah musyawarah untuk mufakat baru kemudian dilanjutkan pada tahap penyelesaian sengketa yang terdiri atas mediasi, konsiliasi dan arbitrasi.
"Musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan kunci agar terjadi hubungan baik antara penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi," katanya.
Advertisement