Senin 20 Aug 2018 10:02 WIB

Petani Keluhkan Rendahnya Harga Jual Garam

Ongkos produksi dan sewa lahan terus meningkat.

Garam asal Madura dan Jepara di Pasar Induk Legi Solo.
Foto: Republika/Andrian Saputra
Garam asal Madura dan Jepara di Pasar Induk Legi Solo.

REPUBLIKA.CO.ID, JEPARA -- Petani garam di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mengeluhkan rendahnya harga jual garam di tingkat petani. Di sisi lain, biaya produksi cenderung meningkat.

Petani garam di Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara, Adi, mengatakan harga jual garam saat ini hanya berkisar Rp 65.000 per tombong atau keranjang anyaman bambu dengan kapasitas 85 kilogram. Hal ini berarti setiap kilogram hanya dihargai Rp 760. 

"Pada awal mulai panen pada bulan Juli 2018 harganya masih tinggi karena mencapai Rp 2.000 per kilogramnya atau Rp 175.000 per tombong," ujarnya.

Selain harga jual garam yang mengalami penurunan tajam, kata dia, harga sewa lahan justru meningkat. Tarif lahan yang dikelolanya saat ini mencapai Rp 14 juta per tahun.

Untuk bersaing di pasaran, lanjut dia, dalam memproduksi garam juga dituntut menggunakan geomembran. Hal itu menambah beban petani dengan biaya pembelian geomembran yang harganya mencapai Rp 4,1 juta untuk setiap 100 meter.

Baca juga, Mulai dari NTT, BNI Pionir Salurkan KUR untuk Petani Garam

Garam yang diproduksi tanpa menggunakan geomembran, katanya, kurang laku di pasaran. Selain tidak berkualitas, garam yang diproduksi tanpa geomembran berwarna tidak putih sehingga daya tariknya kurang.

Suyanto, petani garam lainnya mengakui hal yang sama bahwa harga jual garam saat ini turun tajam, setelah sebelumnya sempat mencapai Rp 170 ribu per tombong. Saat ini, garam produksinya hanya laku antara Rp 70 ribu hingga Rp 75 ribu per tombong.

Meskipun demikian, dia mengaku masih bersyukur karena harga jual garam tidak sampai turun tajam seperti tahun-tahun sebelumnya karena per tombong hanya dihargai Rp 30 ribu. Karena saat ini biaya produksinya juga semakin tinggi, dia berharap pemerintah turun tangan untuk menstabilkan harga jual garam petani agar tidak sampai membuat petani mengalami kerugian.

"Minimal tidak ada garam impor di pasaran saat petani tengah panen garam. Jika ada garam impor, dipastikan harga jual garam lokal akan jatuh dan berpotensi merugikan petani," ujarnya.

Kehadiran teknologi produksi garam menggunakan geomembran, kata dia, memang sangat membantu, terutama dalam hal produktivitas semakin meningkat. Dalam jangka waktu tidak sampai sepekan, kata dia, petani garam sudah bisa panen, terlebih kondisinya terik seperti sekarang.

Sekali panen, Suyanto bisa menghasilkan hingga 21 tombong atau 1,78 ton garam. Namun, untuk bisa menghasilkan garam dalam jumlah banyak, selain didukung cuaca yang terik juga harus didukung dengan ketersediaan airnya. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement