Jumat 17 Aug 2018 01:00 WIB

BI: Rupiah Bisa Lebih Tertekan Jika Bunga Ditahan

Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nur Aini
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (15/8). BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI 7-days repo rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,5 persen guna mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik.
Foto: Sigid Kurniawan/Antara
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor pusat BI, Jakarta, Rabu (15/8). BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI 7-days repo rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,5 persen guna mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia menyebutkan rupiah bisa tertekan lebih dalam pada perdagangan Kamis (16/8). Hal itu bisa terjadi jika suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" tidak dinaikkan 0,25 persen menjadi 5,5 persen, Rabu (15/8).

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan kenaikan suku bunga acuan, yang sudah terakumulasi tahun ini sebesar 125 basis poin itu untuk memberikan sinyal ke pasar bahwa Bank Sentral tetap ingin menjaga daya tarik aset-aset berdenominasi rupiah. Bank Indonesia juga ingin tetap menjaga prioritas stabilitas perekonomian.

"Kenaikan itu sudah membantu untuk menahan lebih dalam untuk rupiah. Kalau kemarin tidak ada kenaikan, mungkin ceritanya akan lain," ujarnya di Gedung DPR/MPR/DPD di Jakarta, Kamis.

Dody mengklaim tekanan ekonomi eksternal masih mejadi biang keladi mengapa nilai tukar rupiah masih melemah pada Kamis. Otoritas moneter, kata Dody, akan tetap menstabilisasi nilai tukar di pasar agar rupiah tidak lebih jauh melemah dari fundamentalnya. "Ini (rupiah) saat ini sudah di luar fundamentalnya," katanya.

Dia menjelaskan, stabilisasi yang dilakukan BI melalui intervensi adalah ketika nilai tukar rupiah di pasar sudah terlalu jauh dari fundamentalnya. Intervensi BI bisa melalui pasar valuta asing maupun obligasi.

Jika nilai tukar mulai bergerak stabil, Bank Sentral akan mengurangi intervensinya dan membiarkan mekanisme pasar berjalan dengan baik. Nilai tukar rupiah di pasar spot pada Kamis kembali melemah ke batas psikologis Rp14.600 per dolar AS. Pada Kamis saat penutupan pasar, rupiah menurun sebesar 10 poin ke level Rp14.603 per dolar AS.

Sementara itu, Pemerintah memprediksi nilai tukar rupiah terhdap dolar AS pada 2019 berkisar pada Rp 14.400 per dolar AS. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan risiko global saat ini mendorong pergerakan rupiah pada level tersebut pada 2019.

Sri Mulyani menjelaskan sebelumnya sudah dilakukan pembahasan dengan DPR mengenai kerangka ekonomi makro dan melihat situasi yang berkembang selama kuartal satu terakhir. "Proyeksi ke depan ini (Rp 14.400) tentu disebabkan karena kondisi dari kebijakan Amerika Serikat yang akan menyebabkan dolar AS menjadi menguat," kata Sri Mulyani di Jakarta Convention Center (JCC) Kamis, (16/8).

Sri Mulyani menjelaskan ada beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah pada tahun depan. Faktor tersebut yaitu perbaikan ekonomi AS yang menyebabkan adanya normalisasi kebijakan moneter AS.

Selain itu, fiskal ekspansif AS yang menurutnya mampu meningkatkan defisit. Faktor lainnya yakni kenaikan harga minyak dunia dan permasalahan geopolitik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement