Rabu 15 Aug 2018 19:00 WIB

BI Minta Korporasi tidak Borong Valas

Dunia usaha bisa memanfaatkan fasilitas BI untuk valas.

Red: Nur Aini
 Petugas keamanan melintas didekat logo Bank Indonesia (BI), Jakarta, Ahad (1/10).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas keamanan melintas didekat logo Bank Indonesia (BI), Jakarta, Ahad (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) meminta dunia usaha tidak memaksakan diri untuk "memborong" valuta asing dalam jumlah besar saat ini jika tidak diperlukan. Hal itu supaya tekanan nilai tukar rupiah dapat berkurang.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan dunia usaha bisa memanfaatkan fasilitas penukaran (swap) lindung nilai (hedging) ataupun forward agar tidak menderita kerugian dari selisih kurs saat menarik valas beberapa waktu mendatang. "Bagi korporasi yang butuhkan valasnya enam bulan lagi, tidak usah 'nubruk' dolar," katanya di Jakarta, Rabu (15/8).

Dalam beberapa hari terakhir, bank sentral bisa membuka dua kali fasilitas kepada pelaku pasar untuk menggunakan swap atau sederhananya disebut barter dengan agunan. Fasilitas swap pada pagi hari ditujukan bank sentral untuk operasi moneter guna menjaga kecukupkan likuiditas. Fasilitas swap kedua di siang hari untuk lindung nilai dari volatilitas kurs.

"Jika ada kebutuhan rupiah dan ingin ingin memegang dolarnya, bisa memanfaatkan swap hedging ini sepanjang punya underlying-nya (kolateral)," ujar dia.

Saat ini, melalui operasi moneter BI, menurut Perry, biaya atau bunga swap sudah lebih murah namun tetap terbentuk dari mekanisme pasar. Maka dari itu, swap lindung nilai, menurut Perry, semestinya bisa dimanfaatkan dunia usaha.

Misalnya, untuk tenor swap satu bulan telah menurun dari 4,85 persen menajdi 4,62 persen. Kemudian swap tenor satu tahun telah menurun dari 5,18 persen menjadi 4,9 persen. Pada awal 2018 lalu, bunga swap masih sempat berada di level tiga persen, tetapi naik karena tingginya permintaan lindung nilai, yang juga disebabkan pelemahan rupiah.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengakui volatilitas nilai tukar rupiah dan indeks harga saham saat ini memang relatif agak tinggi. Namun, volatilitas tersebut sifatnya hanya sementara.

"Kita tahu ada volatilitas yang agak tinggi ya namun demikian ini kami yakini sifatnya hanya sementara dan ini juga sudah terjadi beberapa kali kan," ujar Wimboh.

Menurut Wimboh, kondisi volatilitas tinggi tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal terutama terkait rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS The Federal Reserve. Selain itu, volatilitas dipengaruhi sentimen perang dagang antara AS dan Cina serta negara mitra dagang lainnya.

"Kita perlu tetap jaga bagaimana masyarakat paham bahwa ini tidak ada hubungannya dengan kondisi domestik, lebih banyak dipicu kondisi di luar di antaranya normalisasi kebijakan AS, perang dagang, dan tentunya kondisi beberapa negara yang memang lagi menderita atau mengalami volatilitas pasar dan nilai tukarnya cukup tinggi," kata Wimboh.

Nilai tukar rupiah pada awal pekan ini menembus level Rp 14.600. Rupiah ditutup melemah sebesar 124 poin menjadi Rp 14.610 dibanding sebelumnya Rp14.486 per dolar AS.

Namun, rupiah kembali menguat seiring dengan kebiijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" 0,25 persen menjadi 5,5 persen pada Rabu ini. Rupiah ditutup di level Rp14.577 per dolar AS.

Senada dengan rupiah, pada awal pekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah hingga 3,55 persen atau 215,92 poin menjadi 5.861,24 seiring dengan banyaknya sentimen negatif di pasar. Hari berikutnya pun IHSG kembali melemah 1,55 persen menjadi 5.769,87. Pada Rabu ini, IHSG kembali menguat 46,72 poin atau 0,81 persen menjadi 5.816,59.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement