REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, jika seseorang berjanji untuk membeli atau menjual, apakah mengikat dan harus dipenuhi? Bila membatalkan pesanannya dan mengakibatkan kerugian itu apakah harus mengganti? Mohon penjelasannya.
(Yayat, Ciamis)
Jawaban:
Waalaikumussalam wr wb.
Janji itu mengikat secara hukum dan harus ditunaikan oleh pihak yang berjanji. Apabila terjadi pembatalan dan mengakibatkan kerugian riil maka pihak yang membatalkan harus mengganti rugi. Oleh karena itu, janji beli atau jual itu mengikat dan harus ditunaikan. Kesimpulan ini berdasarkan telaah terhadap pendapat para ulama salaf dalam kitab-kitab turats dan fatwa DSN MUI terkait dengan hukum janji.
Para ulama ahli fikih berbeda pendapat tentang janji itu mengikat (wajib dipenuhi) atau tidak mengikat. Perbedaan pendapat para ulama tentang hukum janji itu mengikat atau tidak, berbeda dengan memenuhi janji menurut etika.
Karena, menurut etika, setiap janji itu wajib dipenuhi dan tidak boleh dilanggar. Sedangkan, perbedaan ulama di bawah ini tentang janji itu mengikat atau tidak. Jika mengikat maka pihak yang tidak memenuhi janji harus menanggung kerugian yang dialami pihak penerima janji.
Mayoritas fuqaha (mazhab Hanafi, syafi’I, Hanbali, dan salah satu pendapat dari mazhab Maliki) berpandangan, janji hanya mengikat secara agama dan tidak mengikat secara hukum, sehingga dapat dituntut di pengadilan. Sebagian ulama, di antaranya, Ibn Syubrumah (wafat 144 H), Ishaq Ibn Rahawaih (238 H), Al-Hasan al-Bashri (110 H), dan salah satu pendapat (qaul) mazhab Maliki menyatakan bahwa janji mengikat secara hukum.
Sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa janji mengikat secara hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab walaupun orang yang berjanji tidak menyebutkan sebab tersebut dalam pernyataan janjinya. Sebagian ulama mazhab Maliki pendapat yang terkenal (masyhur) menyatakan bahwa janji adalah mengikat secara hukum apabila janji itu dikaitkan dengan suatu sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji.
Dari penjelasan tersebut tampak jelas bahwa menurut mayoritas ulama, janji hanya mengikat menurut agama, tidak mengikat secara hukum. Sedangkan, menurut mazhab Maliki, pendapat yang terkuat adalah pendapat yang keempat, yaitu mengikat secara hukum, sama dengan kontrak, yakni jika janji itu dikaitkan dengan suatu sebab dan sebab tersebut dikemukakan dalam pernyataan janji.
Pendapat ini dipandang kuat pula oleh sebagian besar ulama kontemporer dan oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami sebagaimana ditetapkan dalam Muktamar V yang diselenggarakan di Kuwait, 10-15 Desember 1988.
Sebagaimana dijelaskan dalam Fatwa DSN Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah bahwa janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh pihak yang berjanji (wa'id). Dan janji (wa’d) harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan pihak yang diberi janji (mau’ud).
Dalam beberapa fatwa DSN MUI, seperti fatwa DSN MUI Nomor 94/DSN-MUI/IV/2014 tentang Repo Surat Berharga Syariah (SBS) Berdasarkan Prinsip Syariah disebutkan bahwa apabila salah satu pihak membatalkan janjinya dan mengakibatkan kerugian maka yang bersangkutan wajib mengganti rugi sesuai dengan riil cost yang terjadi.
Seperti halnya nasabah mengajukan pembiayaan untuk membeli kendaraan kepada bank syariah, pesanan tersebut adalah janji yang mengikat dan harus dipenuhi. Apabila barang yang dipesan sudah dibeli dan dimiliki oleh bank, tetapi nasabah membatalkan akadnya dan mengakibatkan kerugian, nasabah akan mengganti sebesar kerugian tersebut.
Begitu pula nasabah (calon pembeli) mengajukan atau memesan barang melalui reseller atau dropshipper atau melalui marketplace. Bila kemudian membatalkan dan mengakibatkan kerugian riil, penjual berhak untuk meminta ganti rugi. Begitu pula, apabila orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah dan membayar sejumlah uang tertentu, tetapi kemudian setelah diterima membatalkan dan mengakibatkan kerugian riil, sekolah berhak meminta ganti rugi sebesar kerugian riil. Wallahu a’lam.