Jumat 27 Jul 2018 15:46 WIB

Mayoritas Fintech Ilegal Berasal dari Cina

Maraknya fintech ilegal dari Cina karena negara itu tengah gencar penertiban.

Red: Nur Aini
Fintech (ilustrasi)
Foto: flicker.com
Fintech (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi mencatat sebagian besar kegiatan teknologi finansial (tekfin) atau fintech berbasis pembiayaan tanpa izin OJK berasal dari Cina.

"Satgas Investasi menemukan 227 platform dari 125 developer, melakukan kegiatan usaha 'peer to peer lending' tidak terdaftar atau izin usaha dalam penawaran produk. Sebagian besar berasal dari Cina," ujar Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (27/7).

Tongam mengatakan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis tekfin yang ilegal tersebut ditemukan oleh Satgas Waspada Investasi. Temuan setelah melakukan pemanggilan terhadap entitas tidak terdaftar, berdasarkan penelusuran yang dilakukan.

Ia menduga sebagian besar entitas ilegal itu berasal dari Cina karena otoritas terkait dari negara tirai bambu tersebut sedang melakukan penertiban terhadap tekfin berbasis pembiayaan. Kelebihan dana tersebut mengincar pasar di Indonesia.

"Kami menduga karena lagi gencar-gencarnya ada pengetatan peraturan 'peer to peer lending' dari Cina. Uang itu kemudian masuk sangat banyak ke berbagai platform dan berdampak ke Indonesia. Kemungkinan sejak beberapa bulan lalu," kata Tongam.

Terhadap tekfin itu, Satgas Waspada Investasi sudah meminta entitas untuk segera menghentikan kegiatan pembiayaan, menghapus semua aplikasi penawaran pinjam meminjam uang, menyelesaikan segala kewajiban kepada pengguna, dan mengajukan pendaftaran ke OJK. Namun, entitas yang sebagian besar tidak memiliki alamat yang jelas dan tidak berizin tersebut tidak mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK sesuai Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 sehingga harus segera menghentikan kegiatan.

"Kami sudah menyampaikan laporan kepada Bareskrim mengenai 'fintech' tidak terdaftar, meminta Kominfo untuk memblokir aplikasi pada website dan media sosial serta meminta manajemen Google untuk memblokir aplikasi pada google play," ujar Tongam.

Tongam tidak menjelaskan seberapa besar kerugian yang dialami masyarakat dengan kehadiran entitas tekfin ilegal yang sebagian besar berasal dari Cina. Hal itu karena tidak pernah ada laporan secara resmi dan entitas ini tidak terdaftar oleh OJK.

Berbagai entitas ilegal itu menggunakan nama-nama yang identik dengan kosakata pembiayaan atau pinjaman seperti "bantuan pinjaman", "cash kilat", "kredit pinjaman", "dana segar", "modal bersama", "pinjaman online", "rupiah kilat", "super kredit" dan "uang pinjaman".

Untuk itu, Tongam meminta masyarakat untuk melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap daftar tekfin yang sudah melakukan pendaftaran kepada OJK agar tidak dirugikan oleh berbagai kegiatan entitas pembiayaan yang ilegal. Hingga awal Juni 2018, OJK mencatat perusahaan tekfin berizin dan terdaftar baru mencapai 63 perusahaan dengan jumlah transaksi sebesar Rp 6 triliun.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement