Selasa 24 Jul 2018 11:06 WIB

Inalum: Tak Perlu Agunan Untuk Utang Beli Freeport

Inalum akan memakai dana asing untuk membeli Freeport.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Teguh Firmansyah
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Menkeu Sri Mulyani (ketiga kiri) bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri ESDM Rini Soemarno, Menteri KLHK Siti Nurbaya, Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin (dari kiri) saat konfrensi pers usai penandatanganan perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Menkeu Sri Mulyani (ketiga kiri) bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri ESDM Rini Soemarno, Menteri KLHK Siti Nurbaya, Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin (dari kiri) saat konfrensi pers usai penandatanganan perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, untuk bisa mendapatkan dana buat membayar divestasi Freeport, Inalum tidak memerlukan menyerahkan agunan apapun kepada pihak ketiga.

Tak hanya itu, kata Budi, banyak bank yang menawarkan pinjaman dengan bunga yang kompetitif. "Pinjamannya pinjaman bank dan sampai sekarang kita sih enggak ada jaminannya. Kita dapatin dan bunganya sangat kompetitif," ujar Budi di DPR, Senin (23/7) malam.

Budi juga menjelaskan aliran dana yang dicari oleh Inalum adalah aliran dana dari luar negeri. Ia menjelaskan langkah ini diambil untuk bisa menjaga neraca pembayaran dan menjaga kurs. "Kalau itu pinjaman dari dalam negeri lari ke luar uangnya. Itu akan menekan kurs. Itu sebabnya kita memahami yaudah kita akhirnya ambil dari luar negeri dan Itu cukup," ujar Budi.

photo
Pembelian saham Freeport

Budi juga menjelaskan, keputusan untuk mendanai sepenuhnya proyek divestasi ini dengan pinjaman adalah juga untuk menjaga ekuitas perusahaan. Budi menjelaskan, selain akan banyak investasi ke depan yang memerlukan dana, untuk bisa melakukan pinjaman, perusahaan juga perlu mempunyai kondisi keuangan yang sehat.

"Kalau misalnya bank-nya meminta Inalum kan sekarang kan punya sekitar Rp 20 triliun cash. Jadi sekitar 1, sekian miliar USD. Tapi kalau buat teman-teman yang memahami transaksi akuisisi kalau makin sedikit equity-nya makin tinggi arm and arm nya," ujar Budi.

PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Freeport McMoran Inc, dan Rio Tinto telah melakukan penandatanganan pokok-pokok perjanjian terkait penjualan saham Freeport dan hak partisipasi Rio Tinto di PT Freeport Indonesia ke Inalum. Kepemilikan Inalum di PTFI setelah penjualan saham dan hak tersebut menjadi sebesar 51 persen dari semula 9,36 persen.

Pokok-pokok perjanjian tersebut selaras dengan kesepakatan pada 12 Januari 2018 antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika, di mana pemerintah daerah akan mendapatkan saham sebesar 10 persen dari kepemilikan saham PTFI.

Dalam perjanjian tersebut, Inalum akan mengeluarkan dana sebesar 3,85 miliar dolar AS untuk membeli hak partisipasi dari Rio Tinto di PTFI dan 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama, yang memiliki 9,36 persen saham di PTFI. Para pihak akan menyelesaikan perjanjian jual beli ini sebelum akhir 2018.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, mengakui transaksi aksi korporasi sistem head of agreement (HoA) dalam pembelian Freeport bukan merupakan kesepakatan mengikat. Jonan mengatakan, HoA dibuat hanya untuk menyamakan persepsi terkait transaksi.

Namun, kata dia, melalui HoA itulah tata cara transaksi, jumlah transaksi, dan mekanisme transaksi disatukan persepsi. "Kalau ditanya ke saya, mengikat apa tidak. Selama ini memang tidak mengikat, tapi ini frame work buat transaksi. Ini sebenarnya secara hukum HoA itu tidak pernah mengikat," ujar Jonan di Kompleks DPR, Kamis (19/7).

Baca juga, JK Ungkap Mengapa Pemerintah Hanya Kuasai 51 Persen Freeport.

Jonan menjelaskan, dalam HoA yang terjadi kemarin memang lumrah dilakukan.  Apalagi, mengingat hal ini merupakan transaksi internasional yang melibatkan dua perusahaan antarnegara.

Hanya saja, di dalam HoA tersebutlah yang nantinya disepakati seperti apa mekanisme divestasinya, apa konsekuensi jika bayarnya terlambat, dan persoalan teknis lainnya.

"Kenapa kok dibuat HoA, supaya jelas, bayarnya kapan, kalau telat gimana, macam- macam. Secara standar internasional perlu. Ini kayak tunangan. Pasti menikah? Ya enggak, tapi kalau gak niat nikah, mengapa harus tunangan," ujar Jonan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement