REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar ekonomi INDEF Dradjad Wibowo mengatakan kisruh Pertamina terjadi akibat tata kelola APBN yang jelek, khususnya pada pos subsidi energi.
Pada akhir 2017, kata Dradjad, Pertamina pernah menyurati Pemerintah agar membayar tunggakan subsidi BBM dan LPG Rp 30 triliun. "Tunggakan ini belum dibayar sejak 2016,” kata Dadjad, dalam siaran persnya, Sabtu (21/7)..
Pada tahun 2018, lanjutnya, dengan ICP jauh di atas asumsi APBN US$ 46/b, Pertamina dirugikan karena kehilangan pendapatan. Untuk Januari-Februari 2018 saja kehilangan ini sudah hampir Rp 4 triliun.
Padahal selama 2 bulan tersebut ICP masih relatif belum setinggi sekarang, masih pada kisaran US$ 61-66/b. Akhir-akhir ini ICP berkisar US$ 65-68/b. Jelas Pertamina makin dirugikan. Nilainya bisa lebih dari Rp 25 atau 30 triliun setahun, apalagi Rupiah makin terdepresiasi terhadap US$.
Semua angka tersebut seharusnya masuk ke dalam pos APBN. Dengan dibebankan ke Pertamina, defisit APBN jadi terlihat lebih kecil dari angka aslinya.
Dradjad mencontohkan APBN-P 2017. Defisit yang diumumkan resmi sebesar Rp 345,8 triliun atau 2,57 persen PDB. Jika tunggakan ke Pertamina dimasukkan, defisit yang asli adalah Rp 375,8 triliun atau 2,79 persen PDB. Jadi defisit aslinya jauh di atas angka yang diumumkan.
"Pemerintah seharusnya taat azas dalam tata kelola APBN. Bukan mementingkan pencitraan politis. Yaitu, pencitraan agar harga BBM kelihatan tidak naik, BBM seperti premium tetap seolah-olah tanpa subsidi, dan defisit APBN terlihat seolah-olah lebih rendah,” papar Dradjad.
Akibatnya, kata anggota Dewan Kehormatan PAN ini, Pertamina didorong menjual aset. Dradjad mengibaratkan ini seperti seorang bapak atau ibu yang tega menyuruh anaknya menjual buku sekolah, agar bapak atau ibunya bisa pupuran (berbedak) lebih cakep.
"APBN-P pun menjadi APBN-pupuran, apalagi beban yang ditanggung PLN belum dimasukkan,” paparnya.
Ini jelas sebuah pupuran yang mahal. Karena, dengan melego aset, otomatis pertamina kehilangan potensi pendapatan maupun kemampuan berekspansi dengan memanfaatkan aset itu. Kinerja jangka menengah dan panjang Pertamina jadi terganggu.
"Bukankah pak Jokowi berjanji akan membesarkan Pertamina? Koq malah diminta obral aset?,” paparnya.