Kamis 19 Jul 2018 14:10 WIB

Bisnis Properti di Jabar Masih Lesu

Kinerja sektor perumahan di Jabar baru tercapai sekitar Rp 9 triliun.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Perumahan di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (13/7).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Perumahan di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (13/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Bisnis perumahan di Jabar saat ini pertumbuhannya masih melambat. Menurut Ketua Real Estat Indonesia (REI) Jabar Joko Suranto, pada kuartal pertama 2018, kinerja sektor perumahan di Jabar tercatat melambat yakni dari target Rp 13 triliun baru tercapai sekitar Rp 9 triliun.

Bahkan, menurut Joko, pihaknya mencatat terjadi anomali pada penjualan rumah bersubsidi (40 persen) dibawah hunian komersial (60 persen). Padahal biasanya, realisasi hunian komersial selalu di bawah rumah bersubsidi.

"REI meminta pemerintah tidak membuat kebijakan perumahan yang membingungkan pengusaha atau masyarakat yang mengakibatkan perlambatan sektor properti," ujar Joko kepada wartawan di Bandung, usai acara Diskusi yang digelar REI Jabar, Kamis (19/7).

Menurut Joko, melambatnya penjualan rumah di awal tahun juga tak lepas dari perubahan ketentuan yang tidak tersosialisasikan. Misalnya kewajiban mendaftar di Kementerian PUPR terhadap pengembangan yang menggunakan KPR. REI, sebenarnya mendukung ada perubahan ke arah lebih baik.

"Tapi jangan seketika dan mesti di sosialisasikan dulu. Karena bisnis tidak bisa langsung on off. Harus ada penyesuaian,” katanya.

Joko berharap, ke depan sektor properti di Jabar bisa kembali tumbuh. Ia berharap ada perbaikan daya beli masyarakat. Selain itu, hal yang berkaitan high cost ekonomi juga harus dipangkas. Agar ada kebijakan yang berpihak ke masyarakat.

Sementara menurut Kepala Kantor Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jabar Sarwono, kebijakan DP 0 persen untuk  rumah pertama cukup bagus. Karena akan mendorong kepemilikan rumah bagi masyarakat.

Saat ini, kata dia, rumah paling banyak mendapat pendanaan perbankan adalah tipe 22 dan 70. Paling besar permintaannya ada di daerah Karawang. Sementara perbankan yang paling banyak menyalurkan KPR adalah BTN sebesar Rp 50 triliun dari total penyaluran KPR Rp 91 triliun.

"Kami berharap bank lain bisa meningkatkan kinerja KPR, tetapi tetap harus hati-hati. Karena kalau tidak didukung manajemen risiko yang baik akan berbahaya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement