Sabtu 14 Jul 2018 00:53 WIB

Pemerintah Perlu Perjelas Status HoA Freeport

Hikmahanto menilai status HoA yang ditandatangani bukan kesepakatan terikat.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Andi Nur Aminah
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin (kanan) bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (kiri) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin (kanan) bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (kiri) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional, Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai pemerintah perlu memperjelas status Head Of Agreement (HoA) yang baru saja ditandatangani oleh pihak Pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran. Sebab, menurut Hikmahanto status HoA yang kemarin ditandatangani dinilai oleh pihak Rio Tinto bukan kesepakatan yang terikat.

Hikmahanto merilis dari laman London Stock Exchange yang menyebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement). "Hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat status binding dan non-binding agreement mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda," ujar Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (14/7).

Menurut Hikmahanto dengan perbedaan status tersebut maka ada konsekuensi hukum yang berbeda. Ia mengatakan, jika memang HoA tidak mengikat secara hukum seperti yang dinilai Rio Tinto tersebut maka akan melemahkan posisi Inalum ke depan. "Bila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum? Ini tentu bisa melemahkan posisi Inalum," ujarnya.

Ia juga menjelaskan dalam laman London Stock Exchange juga disebutkan bahwa harga penjualan 40 persen participating interest disebutkan sebesar 3,5 miliar dolar AS. Harga tersebut sepertinya setelah memperhitungkan perpanjangan konsesi PT FI hingga 2041. "Dalam hal demikian sebaiknya Inalum tidak melakukan pembelian sebelum keluarnya izin perpanjangan dari Kementerian ESDM," ujar Hikmahanto.

Ia juga menjelaskan bila tidak, maka manajemen Inalum pada saat ini di kemudian hari ketika telah tidak menjabat dapat diduga oleh aparat penegak hukum telah melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini karena manajemen dianggap telah merugikan keuangan negara.

"Kerugian negara dianggap terjadi karena harga pembelian participating interest didasarkan harga bila mendapat perpanjangan. Padahal izin perpanjangan dari Kementerian ESDM pada saat perjanjian jual beli participating interest dilakukan belum diterbitkan," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement