REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kementerian Pertanian mendorong ekspor hasil pertanian melalui Bandung Vegetables Station (Bavas). Bavas mampu melakukan ekspor senilai Rp 80 juta per bulan.
Direktur Bavas Dodih mengatakan, komoditas yang diekspor adalah salada air, jahe gajah, petai, buncis dan kacang Kenya. Pasar ekspor Bavas saat ini adalah Singapura.
"Yang dipolakan ke petani adalah buncis, kacang Kenya dan salada air," katanya kepada wartawan, Kamis (12/7).
Pola yang dimaksud adalah petani binaan mengirimkan produknya ke Bavas untuk kemudian dilakukan pengolahan dengan cool storage, pengemasan hingga pelabelan untuk pengiriman. Saat ini ada lima kelompok tani yang bergabung dengan Bavas.
Bavas kemudian melakukan ekspor dengan bantuan eksportir. Produk Bavas tersebut telah mendapat jaminan harga dari eksportir sesuai dengan kontrak. Namun kontrak bersifat situasional melihat pergerakan kondisi di lapangan.
Baca juga, Ekspor Pertanian Melonjak.
Ia mengatakan, eksportir membeli kacang Kenya dari Bavas sebesar Rp 16 ribu per kilogram (kg), buncis Rp 9 ribu per kg dan petai Rp 180 ribu per kg. Rata-rata pengiriman ekspor masing-masing 4 ton dalam satu bulan.
Saat ini ada tiga eksportir yang berperan menjembatani Bavas dengan pasar Singapura yakni Amazing Farm, Agrisosio dan Bintang Kiat Kemuliaan.
Ia menjelaskan, Bavas langsung mengejar pasar luar negeri karena item yang diperlukan sedikit tapi dengan volume besar. Potensinya pun cukup besar mengingat fasilitas Bavas yang telah diakui internasional.
Harga komoditas untuk ekspor juga relatif stabil dengan kecepatan pembayaran oleh eksportir. Diakui Dodih, hal inilah yang menjadi petani lebih memilih pasar ekspor dibanding mengisi pasar lokal untuk masuk ke supermarket.
Pencairan dana baru bisa diterima dua pekan hingga satu bulan setelah barang diterina, sementara petani membutuhkan uang saat itu juga. Kendati demikian, Bavas tetap akan meramaikan pasar dalam negeri. "Lokalnya lagi digarap," kata laki-laki berusia 60 tahun ini. Meski terus menambah komoditas pertanian lain yang akan diekspor Bavas.
Dodih mengakui, omzet Rp 80 juta per bulan sebenarnya jauh dari kata baik. Sebab, energi listrik yang dikeluarkan Bavas cukup tinggi dengan keberadaan cool storage.
"Harusnya Rp 250 juta per bulan, baru sehat," katanya.
Bavas sudah berdiri satu tahun. Bavas berada di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang. "Untuk jadi anggota Bavas harus ikut diklat OTM," ujarnya.
Sekretaris Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Andriko Noto Susanto mengatakan, OTM adalah Onsite Training Model yang bekerja sama dengan Taiwan Technical Mission (TTM). Kerja sama tersebut kemudian menghasilkan Bavas. "Ini hibah dari Taiwan," katanya.
Sejak 2016 hingga kini sudah ada 840 orang yang dilahirkan dari OTM. Mereka diharapkan mampu menjadi Sumber Daya Manusia handal yang mnjd pioneer di lapangan dan memberi dampak luas. "Angka ini masih kecil tapi adalah embrio yang diharapkan menjadi virus sehingga mindset tentang pertanian berubah," ujar dia.
Ia menjelaskan, Bavas merupakan contoh bagaimana petani tidak bekerja sndiri-sendiri. Jika bekerja sendiri, kata dia, keberhasilan produksi mungkin terjadi namun nilai tawar menjadi rendah. Para petani tersebut bahkan mudah dimainkan tengkulak dan membuat rantai pangan menjadi panjang. "Namun dengan korporasi, nilai tawar terhadap harga lebih baik dan meningkatkan kesejahteraan," ujarnya.