Jumat 29 Jun 2018 17:40 WIB

Rupiah Menguat Usai BI Menaikkan Suku Bunga Acuan

Untuk sementara langkah kenaikkan suku bunga acuan bisa meredam tekanan ke rupiah.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas teller menghitung pecahan uang rupiah di Kantor Pusat Bank Mandiri, Kamis (28/6).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Petugas teller menghitung pecahan uang rupiah di Kantor Pusat Bank Mandiri, Kamis (28/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan. Penguatannya mencapai 50 poin ke posisi Rp 14.339 per dolar AS.

Pengamat Ekonomi dari Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi mengatakan, penguatan rupiah terjadi setelah kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 50 basis poin. Hal itu karena, kenaikannya lebih besar dari ekspektasi pasar yang sebelumnya memperkirakan hanya naik 25 basis poin.

"Jadi sementara, saya pikir langkah ini (naikkan suku bunga acuan) bisa meredam tekanan terhadap rupiah," kata Eric kepada Republika.co.id, Jumat, (29/6).

Ia menambahkan, pelaku pasar melihat, bank sentral siap menggunakan instrumen suku bunga dan intervensi valas untuk menstabilkan rupiah.

Sebelumnya laju kurs rupiah telah menembus level Rp 14.400 per dolar AS.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini, (29/6), mata uang Garuda tersebut berada di posisi Rp 14.404 per dolar AS.

Baca juga, Rupiah Tertekan, Suku Bunga Acuan Naik Hingga 50 Bps.

Sementara itu, di spot perdagangan mata uang, kurs rupiah justru mulai menguat. Pagi tadi, rupiah dibuka naik 0,17 persen atau 24 poin di Rp 14.370 per dolar AS.

Sekitar pukul 09.00 WIB, rupiah sempat merosot ke zona merah sehingga menurun ke level Rp 14.402 per dolar AS.

Adapun Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI 7 RRR) sebanyak 50 basis poin (bps). Dengan begitu kini suku bunga berada diangka 5,25 persen dari sebelumnya 4,75 persen.

Eric Sugandi menilai, pelaku pasar melihat bank sentral siap menggunakan instrumen suku bunga dan intervensi valas untuk menstabilkan mata uang rupiah.

"Ke depannya, saya pikir perlu atau tidaknya BI 7 RRR, perlu memperhatikan apakah tekanan eksternal yang datang hanya karena persepsi atau ekspektasi pelaku pasar atau memang karena faktor yang punya pengaruh fundamental," tutur Eric.

Menurutnya, BI 7 RRR tidak perlu naik setiap menjelang Federal Open Market Commitee (FOMC). Apalagi, kenaikan suku bunga acuan tersebut akan berdampak ke pertumbuhan kredit perbankan.

"Dampak negatif kenaikan BI 7 RRR terhadap pertumbuhan kredit via supply side dari kredit tentu ada karena suku bunga kredit bisa naik. Hanya saja, yang saya lihat lebih urgent bagi BI adalah jaga stabilitas rupiah dan inflasi sesuai mandat BI menurut Undang-Undang BI," jelas Eric.

Lebih lanjut, ia menambahkan, kenaikan suku bunga acuan kali ini sudah cukup. Tidak perlu setiap kali Fed Fund Rate (FFR) naik, BI 7 RRR ikut naik.

"Jika suku bunga acuan BI naik terlalu banyak, malah bisa ganggu pertumbuhan. Hanya manfaatnya terhadap pengendalian inflasi dan stabilisasi nilai tukar tidak terlalu besar, yang penting pesannya jelas ke pasar bahwa BI ahead of the curve," jelasnya.

Sementara itu, pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin mendalam pada pekan ini, kata dia, masih seputat kekhawatiran terhadap perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Cina. Apalagi selain dengan Cina, AS pun mengancam perang dagang Eropa, Kanada, serta Meksiko.

Eric menuturkan, Cina, AS, dan Eropa termasuk beberapa negara tujuan utama ekspor Indonesia. Maka kalau pertumbuhan ekonomi mereka terganggu, ekspor Indonesia bisa terganggu pula.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement