Sabtu 23 Jun 2018 12:06 WIB

BI Prediksi Defisit Transaksi Berjalan Maksimal 2,5 Persen

Defisit di kuartal kedua berjalan biasanya lebih tinggi dibanding kuartal pertama.

Rep: binti sholikah/ Red: Joko Sadewo
Defisit Neraca Transaksi Berjalan
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Defisit Neraca Transaksi Berjalan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) secara keseluruhan tahun 2018 tidak akan lebih dari 2,5 persen. Pada kuartal I 2018 defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 2,1 persen PDB.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan, defisit transaksi berjalan pada kuartal kedua biasanya lebih tinggi dibandingkan kuartal pertama. Sebab, kuartal kedua memang lebih banyak impor.

"Kalau lebih tinggi jangan kaget karena secara musimannya begitu. Kami lihat secara tahunnya prediksi kami itu tidak lebih dari 2,5 persen PDB," kata Perry kepada wartawan di Gedung Bank Indonesia, Jumat (22/6).

Prediksi 2,5 persen PDB tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan defisit transaksi berjalan pada 2013 yang sebesar 3,26 persen PDB. Namun, lebih tinggi jika dibandingkan CAD sepanjang 2017 yang sebesar 1,7 persen dari PDB.

"Kalau dari sisi tingkat desifit transaksi berjalan meskipun naik tahun ini karena memang aktivitas ekonomi naik, tetapi masih aman," imbuh Perry.

Menurut Perry, defisit transaksi berjalan juga perlu dilihat dari segi pembiayaan, dimana modal asing yang masuk mengalami kenaikan. Dia menilai, yang perlu didorong dari sisi investasi portofolio bentuknya  seperti pembelian asing terhadap surat berharga negara (SBN) dan saham.

Oleh karena itu, lanjutnya, Bank Indonesia beberapa waktu lalu melakukan langkah-langkah pre-emptive Bank Indonesia melalui kenaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reserve Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen. Dengan kenaikan suku bunga tersebut diharapkan semakin membuat investasi di SBN atau fix income di Indonesia lebih menarik. Sehingga aliran modal asing (inflow) di dalam SBN maupun obligasi koorporasi mengalami kenaikan.

Terlebih, Bank Indonesia juga akan melakukan relaksasi makroprudensial di sektor perumahan. Jika sektor perumahan naik, maka menarik bagi investasi dalam dan luar negeri khususnya yang mau membeli saham.

"Sehingga defisit transaski berjalan yang masih relatif aman itu semakin aman semakin kuat karena pembiayaannya juga semakin kuat," ucap Perry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement