REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengaku sedang melakukan penyempurnaan metodologi untuk meningkatkan data produksi padi di Indonesia. BPS menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk bisa memperbaiki basis data produksi padi yang kerap menjadi perdebatan.
"Jadi, BPS bersama BPPT mulai Januari 2018 membuat namanya kerangka sampel area. Itu pakai peta kita bagi-bagi segmennya kemudian koordinatnya dimatikan. Petugas diminta datang ke sawah dengan menggunakan ponselnya dan harus memotret," ujar Suhariyanto di Jakarta, pada Kamis (24/5).
Suhariyanto menjelaskan, petugas pemantau di lapangan diwajibkan menunjukkan bukti kondisi sawah melalui ponselnya. Hal itu, jelasnya, guna meningkatkan akurasi data. "Jadi kita betul-betul di lapangan melihat kondisi sawahnya apakah baru tanam, apakah sudah panen," ujarnya.
Suhariyanto mengaku, hasil pendataan tersebut baru bisa dipublikasikan dalam kurun waktu tiga hingga empat bulan ke depan. Ia mengaku, tetap perlu mengundang sejumlah pihak terkait untuk mencocokkan akurasi data tersebut.
Dengan adanya data tersebut, Suhariyanto berharap produksi beras Indonesia bisa lebih terprediksi. "Setidaknya kita akan punya data produksi dan kita bisa melihat potensi dari panen padi itu tiga bulan ke depan," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memastikan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis metode penelitian yang baru untuk memperbaiki data pangan di Indonesia. JK mengatakan, BPS akan merilis data-data baru terkait pangan yang selama ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
"BPS akan merilis penelitiannya yang baru, segera. (BPS) sudah sampaikan kepada saya bahwa akan ada data-data yang baru," ujar Jusuf Kalla, Selasa (22/5).
Masalah data produksi beras kerap menjadi polemik. Pasalnya, data ini penting untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan beras nasional. Data juga dipakai untuk mengetahui besaran impor yang dibutuhkan.
Berdasarkan hasil audit BPK, ia memaparkan, pada 2016 kebutuhan beras nasional sebanyak 46,142 juta ton. Sementara itu, produksi dalam negeri mencapai 46,188 juta ton. Artinya, ada selisih surplus sebanyak 46 ribu ton.
Namun, pada tahun tersebut pemerintah justru menerbitkan persetujuan impor sebanyak 1.000.200 ton. "Penetapan angka impor tidak sepenuhnya akuntabel," ujar Rizal dalam sebuah forum diskusi yang membahas ketahanan pangan di kantor BPK, Senin (21/5).