REPUBLIKA.CO.ID, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi paling kering di Indonesia. Karena itu, dibutuhkan upaya keras dari pemerintah dan masyarakatnya guna menundukkan iklim yang kurang bersahabat.
Usaha tersebut terlihat kala teknologi gogo rancah diadopsi beberapa dekade lalu. Disusul dengan kebijakan pembangunan bendungan dan infrastruktur air lain, membuat produksi pangan di dua provinsi itu terus meningkat. Kini, memasuki era Upsus sejak 2015, produksi beras di NTB dan NTT meningkat terus sehingga menjadikan provinsi tersebut lumbung pangan padi, jagung, dan kedelai.
Kemampuan NTB sebagai lumbung pangan nasional terlihat dari kemampuan serapan gabah nasional yang menduduki urutan lima, jauh meninggalkan Lampung di urutan enam. Bahkan, selisihnya dengan Jawa Tengah yang berada di posisi keempat makin kecil.
Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Lombok Timur Sahri menyatakan, slaah satu faktor yang bisa memiliki peran meningkatkan produksi padi di NTB adalah embung. Embung merupakan kearifan lokal masyarakat Sasak Lombok. Karena itu, keberhasilan pemanfaatan embung juga merupakan hasil interaksi faktor kultural yang mampu mengoptimalkan faktor pedologis dan klimatologis.
Kepala Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) Mastur mengatakan, kultur masyarakat Sasak yang dekat dengan Bali dan Jawa membuat masyarakat di sana ahli bersawah. Mereka pun mampu mengatasi kendala klimatologis iklim kering dengan memanfaatkan karakteristik tanah grumusol berpermeabilitas sangat lambat dengan membuat embung.
“Kalau masyarakat Bali punya Subak, maka masyarakat Lombok jagonya embung,” kata Mastur.
Kepala Unit Penyuluhan dan Pertanian (UPP) Jerowaru Karmin menyatakan, embung di Kecamatan Jerowaru ada sekitar 1.400, di Kecamatan Keruak ada sekitar 200. Saat berdiskusi dengan para penyuluh setempat, Karmin menjelaskan, embung tradisional di Lombok memiliki kelembagaan berbasis keluarga karena awal pembuatannya berasal dari satu keluarga di masa lalu. Karena telah diturunkan ke anak cucu, maka sekarang dikelola bersama secara gotong royong oleh keluarga besar.
“Hal ini berbeda kelembagaannya bila kita membangun embung untuk dipakai bersama pada lokasi yang disepakati bersama,” ujar Karmin.
Saat memasuki musim kemarau seperti saat ini, embung-embung membantu petani menyediakan air untuk padi sawah, palawija, tembakau, dan tanaman lain. Air tersebut berasal dari hujan dan air permukaan dari lahan yang lebih tinggi. Kearifan lokal petani menanami pinggiran embung dengan bambu untuk memperkuat pinggiran dan menekan evaporasi. Bila tidak ada embung, penanaman padi sekali dan tanaman lain sekali. Dengan embung, padi dapat ditanam dua kali diikuti tanaman lain. Embung juga dipakai untuk memelihara ikan dan berbagai keperluan keluarga, sehingga memiliki banyak manfaat.
Menurut Mastur, kelemahan embung tradisional adalah saluran air masuk menuju embung yang belum dilengkapi dengan kolam pengendap lumpur. Akibatnya, secara berkala embung harus dikeruk karena makin dangkal. Ini memerlukan tenaga dan biaya besar. Selain itu, masih ada kehilangan air karena saluran pembagi masih asli dari tanah. (Mastur/Baltbangtan)