REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomoni Indef Dradjad Wibowo menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak meroket, tetapi justru kliyengan (goyang). Dradjad mengkhawatirkan adanya sinyal ketidakpercayaan yang serius.
Dradjad menyebut, hanya dalam periode singkat, ekonomi Indonesia kliyengan beberapa kali. Pertama, tanggal 25 April penjualan surat utang negara (SUN) sepi peminat, hanya laku sekitar 36 persen dari penawaran Rp 17,02 triliun.
"Ini sinyal ketidakpercayaan yang serius," kata Dradjad kepada Republika.co.id, Rabu (9/5).
Terkait dengan sinyal ketidakpercayaan yang serius ini, Dradjad menjelaskan, total penawaran yang masuk itu sudah yang paling rendah sejak Oktober 2016. Kedua, tanggal 26 April pasar modal sempat anjlok di atas dua persen pada sesi awal, dan rupiah sempat menembus Rp 14 ribu per dolar AS. Ketiga, pada 8 Mei pasar modal anjlok 2,1 persenan, dan dolar AS tembus Rp 14 ribu lagi.
"Sebelumnya pemerintah gencar menyalahkan faktor eksternal. Tapi pada 24 April di Republika.co.id saya mengkritisi alasan tersebut. Saya sebutkan, bukan hanya faktor eksternal yang berpengaruh. Namun, ada juga faktor internal yang membuat pasar berkurang kepercayaannya," kata anggota Dewan Kehormatan PAN tersebut.
Dijelaskannya, BPS merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I/2018. Pemerintah pun aktif membuat pencitraan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Ternyata, hari ini pasar memberi vonis yang sangat jelek. Rupiah dan pasar modal kembali kliyengan," ungkap Dradjad. Hal ini, lanjutnya, karena memang ada faktor fundamendal yang melemah.
Dradjad menyebutkan kondisi ini karena ada tiga faktor yang berpengaruh. Faktor itu adalah surplus perdagangan yang merosot, pertumbuhan yang terjebak di lima persen, dan kondisi dunia usaha yang ngos-ngosan.
"Itu yang membuat pencitraan pemerintah tidak dipercaya," kata politikus senior PAN tersebut.
Dicontohkannya, pemerintah mengampanyekan bahwa pertumbuhan kuartal I/2018 lebih baik dari kuartal I/2017, naik menjadi 5,06 persen dari 5,01 persen.
"Ini angka year-on-year (YOY). Maksudnya, dihitung secara tahunan. Oke, itu benar. Orang awam mungkin akan bertepuk tangan mendengarnya," papar dia.
Namun, lanjut dia, kalau dilihat data pertumbuhan kuartal I/2015 adalah 4,83 persen, dan kuartal I/2016 sebesar 4,94 persen. Kenaikannya adalah 0,11 persen (2016 vs 2015), lalu hanya 0,07 persen (2017 vs 2016), dan turun lagi menjadi 0,05 persen (2018 vs 2017). Jadi, kenaikan pertumbuhannya mengecil.
Dengan kata lain, menurut Dradjad, ekonomi Indonesia sama sekali tidak meroket. "Kecepatan pertumbuhannya justru makin pelan, seperti pesawat yang mau landing," ujarnya menjelaskan. Dradjad melihat, dari data ini, pertumbuhan makin terjebak di angka lima persen.
Belum lagi pertumbuhan kuartalan (q-o-q) untuk kuartal I/2018 anjlok sebesar -0,42 persen. Ini lebih jelek dari ekspektasi pasar yang sebesar -0,3 persen.
Gambaran yang mirip juga akan terlihat jika membedah tren ekspor, impor, defisit transaksi berjalan, realisasi penerimaan pajak dan belanja pemerintah, dan juga berbagai situasi mikro.
Jika tidak ingin ekonomi tambah kliyengan, Dradjad menyarankan pemerintah jangan lagi bermain pencitraan. Pemerintah sebaiknya bekerja keras membenahi faktor yang krusial.
"Minimal tiga faktor yang saya sebut di atas. Jangan lupa, rakyat melihat ekonomi sebagai titik lemah dari kinerja pemerintahan. Itu hasil survei, bukan kata saya," ucap dia.