REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengapresiasi peningkatan investasi Cina di Indonesia. Namun, peningkatan investasi itu, kata ia, harus dibarengi dengan memprioritaskan tenaga kerja Indonesia. Selain itu, memberikan nilai tambah bagi industri hulu dan hilir, ramah lingkungan, serta ada alih teknologi.
"Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan harapan dukungan pemeritah Tiongkok untuk mewujudkan peningkatan investasi, peningkatan investasi dengan penekanan memprioritaskan tenaga kerja Indonesia," ujar Jusuf Kalla dalam Indonesia-China Business Summit di Hotel Shangrila, Senin (7/5).
Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia-China Business Summit merefleksikan tingginya minat dan komitmen kalangan usaha untuk mengisi kemitraan strategis yang komprehensif antara kedua negara. Adapun hubungan bilateral antara Indonesia dan Cina meningkat sejak dicanangkannya kemitraan strategis pada 2013.
Pada 2017 total perdagangan bilateral Indonesia-Cina lebih dari 60 miliar dolar AS, naik 24 persen dari 2016 yakni sebesar 48 miliar dolar AS. Sementara itu investasi Cina pada 2017 meningkat menjadi 3,4 miliar dolar AS, tidak termasuk Hong Kong. Berdasarkan data peningkatan perdagangan dan investasi tersebut, Jusuf Kalla optimistis prospek kerja sama Indonesia dan Cina sangat menjanjikan dari sisi kualitas maupun kuantitas.
"Saya yakin bahwa forum bisnis ini akan memberikan kesempatan kedua negara untuk menjajaki berbagai peluang kerja sama bisnis," kata Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla berharap, usai pertemuan ini akan ada upaya menindaklanjuti dan menerjemahkan komitmen kerja sama proyek yang saling menguntungkan.
Indonesia-China Business Summit dihadiri oleh 600 undangan. Sebanyak 300 di antaranya merupakan pengusaha nasional. Pertemuan ini juga dihadiri oleh beberapa menteri kabinet kerja di antaranya Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Selain itu, tampak hadir juga Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong.