Senin 30 Apr 2018 14:43 WIB

JK: Pembicaraan Rini-Sofyan Bukan Soal Fee

Keduanya membicarakan tentang skema publik private partnership.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Jusuf Kalla
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla meyakini pembicaraan antara Menteri BUMN Rini Soemarno dan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir tidak membahas tentang pembagian fee atau jatah. Adapun pembicaraan tersebut membahas mengenai pengaturan saham melalui skema public private partnership (PPP).

"Tidak ada urusan dengan fee, hanya bagaimana publik private partnership membangun suatu investasi dengan kerja sama antara lembaga pemerintah dan swasta, hanya mengatur sahamnya yang ada sedikit perbedaan pandangan, tidak ada soal fee. Saya tahu betul itu," ujar Jusuf Kalla ketika ditemui di kantornya, Senin (30/4).

Diketahui, PPP merupakan bentuk perjanjian antara sektor publik (pemerintah) dengan sektor private (Swasta) untuk mengadakan sarana layanan publik yang diikat dengan perjanjian, terbagi menjadi beberapa bentuk tergantung kontrak dan pembagian risiko. Rekaman percakapan antara Rini dan Sofyan juga menyinggung saudara kandung Rini, Ari Soemarno.

 

Baca juga, Polri Tunggu Laporan Soal Rekaman Rini-Sofyan.

 

Sebelumnya, terkait rekaman tersebut Sofyan menegaskan bahwa percakapan antara dirinya dengan Rini sama sekali tidak membahas tentang bagi-bagi fee. Dalam percakapan tersebut, Sofyan dan Rini berdiskusi mengenai porsi saham PT PLN (Persero) dalam proyek Land Based LNG Receiving and Regasification Terminal yang berkapasitas 500 MMscfd di Bojonegara, Serang, Banten.

Adapun, Ari Soemarno memiliki saham dalam proyek yang digagas oleh Kalla Group yakni PT Bumi Sarana Migas (BSM). Dalam percakapan tersebut, PLN tak mau hanya jadi pembeli gas saja, tapi juga ikut memiliki saham sebesar 15 persen. Saham tersebut diusulkan diambil dari milik Ari Soemarno.

Terkait hal tersebut, Jusuf Kalla mengakui proyek penyediaan gas ini dimulai pada 2013 sebelum ia menjadi wakil presiden dan merupakan murni proyek swasta yang digagas oleh PT BMS. Jusuf Kalla menjelaskan, ketika itu ia berdiskusi dengan Ari Soemarno bahwa antara 2020-2021 persediaan gas di wilayah Jawa Barat akan habis sehingga nantinya gas harus didatangkan dari daerah lain. Untuk mendatangkan gas tersebut diperlukan Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) atau fasilitas terminal terapung.

"Untuk itu perlu fasilitas, regasifikasi namanya, itu akan terjadi nanti 2020/2021. Kalau tidak ada fasilitas ini akan masalah," kata Jusuf Kalla.

Jusuf Kalla menjelaskan, fasilitas terminal terapung ini di satu sisi dapat menyebabkan ongkos gas menjadi mahal. Namun, gagasan proyek yang ditawarkan oleh PT BSM bisa membuat harga gas menjadi lebih murah. "Floating terminal itu ongkosnya mahal, 3 dolar AS per MMBTU, ini setengahnya dan lebih terjamin," ujar Jusuf Kalla.

Jusuf Kalla menjelaskan, keterlibatan Ari Soemarno ketika itu adalah sebagai tim ahli. Adapun Ari merupakan ahli dalam persoalan gas. Sedangkan, ketika itu Rini belum menjabat sebagai menteri BUMN. Sehingga, Jusuf Kalla menegaskan bahwa pembicaraan antara Rini dengan Sofyan bukan membicarakan tentang fee atau jatah namun pengaturan saham melalui skema investasi PPP.

"Jadi pembicaraan itu saya tahu betul, itu tidak membicarakan fee, dimana pemerintah dalam hal ini BUMN tanya berapa sahamnya, bukan berapa dapatnya Bu Rini. Ada Pak Ari karena dia ahli soal gas, sehingga diajak untuk jadi tim ahli. Jadi tidak ada hubungannya dan waktu itu Rini belum jadi menteri," ujar Jusuf Kalla.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement