Ahad 22 Apr 2018 22:39 WIB

Pemerintah Diminta Sederhanakan Pembukuan untuk UMKM

Revisi aturan pajak dinilai bisa dorong UMKM berkembang.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Nur Aini
Produk kerajinan UMKM.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Produk kerajinan UMKM. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendukung upaya pemerintah dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 atau aturan Pajak Penghasilan (PPh) final untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dalam revisi aturan tersebut, pemerintah berupaya mendorong UMKM untuk mampu membuat pembukuan dan meninggalkan skema PPh final.

"Saya kira ini sudah tepat supaya UMKM juga mengarah kepada standar kepatuhan yang lebih tinggi dan mereka naik tingkat," ujar Yustinus ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (22/4).

Ia mengatakan, dengan aturan tersebut Wajib Pajak (WP) UMKM diberikan waktu transisi untuk naik tingkat menjadi WP normal. Untuk itu, ia menyarankan pemerintah membantu penyederhanaan pembukuan dan administrasi supaya semakin banyak UMKM yang mampu memenuhi kewajiban perpajakannya.

"Pemerintah harus bisa memastikan waktu ini cukup untuk melakukan itu," ujar Yustinus.

Pemerintah saat ini tengah menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam aturan tersebut, pelaku UMKM dengan batasan nilai omzet sebesar Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 1 persen. Nantinya, tarif PPh tersebut akan diturunkan menjadi 0,5 persen.

Selain itu, salah satu yang akan diatur dalam revisi PP 46/2013 adalah jangka waktu UMKM untuk bisa menyerahkan pembukuan dalam laporan pajaknya. Untuk WP badan UMKM diberi tenggat waktu tiga tahun sementara untuk orang pribadi enam tahun.WP UMKM yang membuat pembukuan nantinya akan dikenakan tarif pajak umum.

Sementara, terkait insentif berupa penurunan tarif PPh final menjadi 0,5 persen, Yustinus meyakini hal itu tidak akan mengganggu penerimaan negara. "Kalau penerimaan, dengan hanya Rp 5 triliun setahun praktis tidak banyak pengorbanan. Justru bisa mendorong ekstensifikasi," ujar Yustinus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement