Selasa 10 Apr 2018 20:04 WIB

‘Pemerintah Punya Ruang untuk Subsidi Premium’

Ruang untuk menanggung subsidi itu berasal dari peningkatan harga minyak dunia.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal.
Foto: ROL/FAkhtar Khairon Lubis
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai pemerintah memiliki ruang fiskal untuk menambah subsidi pada Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium. "Sebetulnya ada ruang untuk menanggung subsidi dari peningkatan harga minyak dunia," ujar Faisal ketika dihubungi Republika, Selasa (10/4).

Pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Hal itu merupakan upaya menjaga pasokan Premium tetap ada di seluruh Indonesia.

Faisal menjelaskan, ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka terdapat beban untuk menanggung selisih harga keekonomian Premium. Menurut Faisal, di satu sisi kenaikan harga minyak dunia akan berdampak positif pada APBN. 

Hal itu karena akan terjadi peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah menghadapi tantangan untuk mengejar target penerimaan tahun ini.

"Kalau penerimaan pajak tidak bisa mengejar peningkatan target belanja ini yang membuat APBN harus ditambal dari mana-mana termasuk dari keuntungan peningkatan harga minyak tadi," kata Faisal.

photo
Pekerja memeriksa isi tangki truk pengangkut BBM. (Antara/Rekotomo)

Karena itu, ia mengaku, pemerintah perlu lebih realistis dalam menentukan belanja hingga akhir tahun. Hal itu agar tambahan penerimaan dari kenaikan harga minya bisa digunakan untuk menambal kebutuhan subsidi.

Menurut Faisal, pemerintah semestinya menjaga alokasi subsidi BBM sejak awal karena berkaitan dengan daya beli masyarakat. Ia menilai, wajar jika terjadi penurunan konsumsi karena daya beli masyarakat terus tertekan dengan adanya kenaikan harga BBM.

"Bukan hanya BBM naik, Tarif Dasar Listrik (TDL) naik, harga pangan juga naik. Daya beli tergerus padahal penggerak ekonomi terbesar kita itu dari konsumsi," ujarnya.

Ia menilai, jika pemerintah kembali memberikan subsidi Premium, hal ini erat kaitannya dengan momentum tahun politik yang terjadi pada tahun ini dan tahun depan. "Jadi ini ada inkonsistensi pemerintah. Kalau memang pro subsidi sejak awal ya lakukan itu. Akan tetapi, kalau di awal dicabut terus jelang pilpres masyarakat dirayu lagi, itu inkonsisten," ujar Faisal. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement