Senin 09 Apr 2018 15:30 WIB

Konsultasi Syariah: Fikih Risiko Bisnis

Mitigasi risiko dalam berbisnis dipraktikkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema  Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID,  Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 

Pertanyaan: 

 

Assalamualaikum wr wb.

Pak Ustaz, saya seorang pelaku usaha. Dalam setiap bisnis, risiko tidak bisa dihindarkan, baik risiko kredit maupun lainnya. Saya ingin mendapatkan penjelasan, bagaimana sesungguhnya pandangan syariah terhadap risiko? Apakah dilarang atau diperbolehkan?

 

Muhammad (Depok). 

 

 

 

Waalaikumussalam wr wb.

Menurut fikih, risiko itu melekat dalam setiap bisnis dan menjadi karakteristiknya. Oleh karena itu, mitigasi harus dilakukan agar target bisnis tercapai dan hak dan kewajiban pelaku transaksi itu terpenuhi. Ada banyak arahan Rasulullah SAW, penjelasan para ulama fikih, dan maqashid syariah terkait dengan risiko dan mitigasinya

Sesungguhnya, memenuhi target bisnis sehingga mendapatkan tingkat pendapatan tertentu juga adalah komitmen terhadap maqashid syariah setiap transaksi bisnis (hifdzul mal min janibil wujud). Di samping itu, mitigasi risiko sebagai komitmen terhadap kontrak dan memenuhi hak dan kewajiban para pihak akad sebagaimana pesan Alquran al-karim.

Oleh karena itu, memitigasi risiko dengan cara yang halal dan tidak melanggar regulasi menjadi keharusan. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fikih, "Suatu kewajiban yang tidak bisa penuhi kecuali dengan suatu perkara, perkara tersebut menjadi wajib (pula)".

Sebaliknya, membiarkan usaha rugi karena tidak ada mitigasi sehingga merugikan diri sendiri dan pihak lain itu tidak diperkenankan. Ihwal ini sesuai hadis Rasulullah SAW, “Bahwa tidak boleh merugikan atau membahayakan diri sendiri dan orang lain”. (HR Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-Daruquthni). 

Tetapi risiko yang dimaksud berbeda dengan spekulasi. Risiko sebagaimana lazimnya terjadi dalam setiap bisnis itu diperbolehkan, bahkan harus dimitigasi, seperti investasi di efek syariah seperti saham yang sudah pasti ada risikonya. 

Berbeda halnya dengan spekulasi. Spekulasi praktik yang dilarang seperti praktik 'menggoreng' saham dan main saham. 

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Imam Ibnu Thaimiyah dalam kitab Al-Majmu, “Risiko itu ada dua bentuk. Yang pertama risiko yang melekat dalam setiap bisnis dan itu diperbolehkan. Dan, yang kedua adalah risiko yang sudah berbentuk spekulasi, dan itu dilarang”. 

Dalam fikih, risiko berbanding lurus dengan kesempatan mendapatkan keuntungan. Setiap pebisnis berhak atas keuntungan karena menanggung risiko. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, “Manfaat (didapatkan oleh seseorang) disebabkan ia menanggung risiko.” (HR Tirmidzi). 

Dalam jual beli, seorang penjual berhak mendapatkan keuntungan karena yang bersangkutan menanggung risiko, di antaranya risiko cacat barang sehingga barang tersebut dikembalikan. Dalam transaksi bagi hasil (mudharabah), misalnya, pemilik modal juga berhak mendapatkan keuntungan karena ia bertanggung jawab juga terhadap risiko. Jika terjadi kerugian bukan diakibatkan oleh wanprestasi atau kelalaian pengelola, modalnya bisa tidak kembali. 

Mitigasi risiko tersebut juga dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, di antaranya sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa apabila para sahabat memiliki tanah dan dihadapkan pada pilihan, menyewakannya atau menyerahkan kepada pengelola dengan sistem bagi hasil, para sahabat memilih untuk disewakan. Karena dengan menyewakannya, risiko lebih terkendali. 

Qudwah (contoh) yang kedua adalah seorang sahabat meninggalkan untanya yang tidak ditambat, kemudian Rasulullah menyarankannya untuk ditambat agar tidak lepas. Sahabat Ibnu Abbas sebagai pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pengelola, dan memberikan syarat-syarat tertentu (mudharabah muqayyadah) untuk memitigasi potensi kerugian usaha.

Kisah tersebut telah memberikan kesimpulan tentang keseriusan Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam memitigasi risiko agar tidak merugikan mitra usaha dan pasar pada umumnya.  Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mitigasi risiko itu diwajibkan dalam Islam. Wallahu a’lam

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement