Jumat 06 Apr 2018 05:36 WIB

Ini yang Buat Ewindo Perlu Dana Besar untuk Riset

Investasi terbesar perusahaan di bidang perbenihan adalah riset dan pengembangan.

Petani memanen buah tomat. (ilustrasi)
Foto: Mahmud Muhyidin
Petani memanen buah tomat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- PT East West Seed Indonesia (Ewindo) produsen benih sayuran hibrida menyiapkan 30 persen dari total biaya operasi (Opex) pada 2018 untuk kegiatan riset dan pengembangan (research and development/R&D). Khususnya, pengembangan  sumber daya manusia di bidang pemuliaan tanaman.

"Investasi terbesar perusahaan yang bergerak di bidang perbenihan adalah riset dan pengembangan. Tanpa didukung itu bagaimanapun canggihnya marketing yang dijalankan akan percuma saja," kata Managing Director Ewindo, Glenn Pardede, di Jakarta, Kamis (5/4).

Berbicara dalam ajang LabIndonesia 2018 di Jakarta Convention Center, Gleen mengatakan, Ewindo akan mengalokasikan lebih besar lagi pada 2019 sekitar Rp 150 miliar masih untuk R&D diantaranya untuk infrastruktur DNA Marker. Sebagai sumbangannya di bidang perbenihan, Ewindo telah membangunkan pusat berbenihan (seed center) berkerja sama dengan Universitas Gajah Mada (UGM).

"Kami investasi Rp 3 miliar meliputi bangunan, peralatan, dan teknologi, serta bantuan pengelolaannya. Ke depannya fasilitas Pusat Perbenihan itu akan menjadi milik UGM," kata Glenn.

Gleen mengatakan, melalui pusat perbenihan tersebut Ewindo ikut melestarikan plasma nutfah sayuran asal Indonesia untuk itu pihaknya akan melakukan pendampingan sampai bisa mandiri termasuk pelatihan bagi operator di Taiwan. Di dalamnya sudah memiliki ruang pendingin (cold storage) untuk menyimpan benih beku. Ke depannya fasilitas ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan benih sampai ke tahapan komersial.    

Menurut Glenn, Indonesia seharusnya memiliki fasilitas semacam ini. Tujuannya untuk pengembangan varietas atau benih unggul dan berkualitas, butuh waktu sepuluh tahun untuk pengembangan benih sampai tahapan komersial.

Pentingnya R&D

Gleen mengatakan pusat R&D sangat penting mengingat penyakit dan iklim juga selalu berubah sehingga menuntut benih unggul dan berkualitas. Untuk itu diharapkan pemerintah dapat mengalokasikan biaya R&D lebih besar lagi khususnya untuk hortikultura. "Bicaranya kalau sudah skala nasional, tidak lagi ratusan miliar, tetapi sudah di atas triliunan untuk R&D," ujar dia.

Hal tersebut untuk menjawab kebutuhan akan benih unggul yang terus meningkat di mana tahun 2018 diperkirakan mencapai 16.000 ton. Namun, baru setengah dari kebutuhan itu yang dapat dipenuhi oleh produsen benih nasional.

Teknologi untuk intensifikasi pertanian, serta penggunaan benih unggul berkualitas adalah kunci atas ketersediaan pangan masa depan. Biaya benih unggul sendiri hanya 3-5 persen dari total biaya produksi pertanian, namun di sisi lain untuk menghasilkan benih unggul yang berkualitas diperlukan teknologi tinggi dan biaya yang cukup besar.

Teknologi modern yang digunakan Ewindo untuk menghasilkan benih unggul berkualitas adalah teknologi penanda DNA molecular (DNA Marker). Melalui pemanfaatan teknologi tinggi ini ada sejumlah keunggulan lebih akurat (memilih sifat unggul tanaman yang diinginkan), lebih cepat (dapat digunakan untuk memilih indukan sebelum di tanam di lapangan), lebih efisien (hanya menanam tanaman yang dibutuhkan), dan lebih aman untuk lingkungan.

Dalam menghasilkan varietas unggul berkualitas, Ewindo juga menggunakan metode customer preference based. Contohnya adalah penemuan varietas Tomat Servo F1. Varietas unggul ini ditemukan untuk menjawab kebutuhan konsumen terhadap tomat yang memiliki rasa lebih enak, bentuk dan ukuran yang menarik. Dari sisi petani, varietas ini memiliki adapatasi yang luas, mampu berproduki lebih cepat dan lebih banyak.  

Sejak dua tahun lalu sampai dengan saat ini, Ewindo berkolaborasi dengan Yayasan Bina Tani Sejahtera dan beberapa mitra menggelar kegiatan training atau capacity building yang dilakukan kepada petani kecil hortikultura/small holder horticulture yang ada di wilayah Jawa Barat,  Jawa Timur dan Lampung.

Adapun, pelatihan yang diberikan berupa standar produksi benih, manajemen petani, good agricultural practices, pest and diseases management, post harvest management dan market access. Ewindo juga mendorong regenerasi petani melalui program petani muda panah merah. Diharapkan sedikitnya akan ada 500 petani milenial dari berbagai daerah hingga tahun 2019.

Bergantung impor

Sedangkan peneliti senior BPPT, Ahmad Riyadi menyampaikan sejumlah tantanganan yang dihadapai perbenihan nasional antara lain ketersedian benih bermutu yang belum mencukupi dan kelembagaan perbenihan yang belum optimal. Ia menyampaikan saat ini 50 persen benih holtikultura Indonesia sangat tergantung pada benih Impor.

"Penelitian untuk menghasilkan varietas baru yang berorientasi pasar masih terbilang masih minim. Ketersediaan benih mutu masih terbatas.Sarana produksi benih dan SDM yang masih terbatas, saat ini kita sangat tergantung benih Impor" ujar Ahmad.  

Ahmad juga menilai, pemerintah di beberapa daerah juga kurang mendukung berkembangnya kelembagaan perbenihan. Hal itu ditambah pengawasan dan sertifikasi benih yang belum optimal. "Alhasil, koordinasi antara pengembangan dan penyediaan benih belum maksimal. Misalnya, ada varietas unggul pada peneliti yang sudah dilepas, tapi belum juga dikembangkan," kata Ahmad.

Glenn Pardede menambahkan, masalah perbenihan, terutama ketersediaan benih unggul menjadi salah satu penyebab sulit bersaingnya produk buah-buahan Indonesia dibandingkan produk impor. "Apalagi disaat pemerintah baru menerapkan pengetatan hortikulura impor, para produsen benih kewalahan memenuhi tingkat permintaan.produksi benih itu tidak mencukupi kebutuhan benih di tanah air," ujar dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement