Jumat 16 Mar 2018 09:06 WIB

Rasio Pajak Belum Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

Di banyak negara, PPh orang pribadi lebih tinggi dibandingkan PPh badan.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Satria K Yudha
Seorang wajib pajak menunjukan informasi mengenai pengisian SPT secara online di Jakarta, Jumat (9/3).
Foto: Republika/Prayogi
Seorang wajib pajak menunjukan informasi mengenai pengisian SPT secara online di Jakarta, Jumat (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID,J AKARTA -- ‎Tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini tecermin dari rasio perpajakan

 

Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam mengatakan, rasio perpajakan Indonesia masih di level 10,8 persen. Rendahnya kepatuhan pajak tersebut dinilai menjadi salah satu penghambat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

 

Dia menjelaskan, untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, International Monetary Fund (IMF) mensyaratkan rasio perpajakan sebuah negara minimal sebesar 12,5 persen. 

 

"Tax ratio kita masih rendah, berapa di angka 10,8 persen. Sementara IMF mensyaratkan suatu negara dapat melakukan pembangunan berkelanjutan kalau tax rationya 12,5 persenminimal. Jadi alau pembangunan belum memenuhi harapan kita semua ya harap maklum," kata Darussalam, Kamis (16/3).

 

Selain itu, kata Darussalam, struktur penerimaan pajak di Indonesia juga menghadapi anomali. Jika di negara lain, penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi lebih tinggi dibandingkan dengan PPh Badan, namun di Indonesia justru PPh orang pribadi masih sangat rendah.

 

Di Indonesia, ujar dia,penerimaan PPh orang pribadi diluar PPh 21 pada 2016  0,5 persen dari total pajak, 2017 naik tipis jadi 0,7 persen terhadap total pajak. Sementara Italia misalnya, penerimaan PPh badan mencapai 3,9 persen dan orang pribadi 16,8 persen. 

 

Kemudian, di Belgia penerimaan orang pribadi 15,3 persen dan PPh badan hanya 3 persen dari PDB. "Jadi angkanya bisa dua kali lipat dari penerimaan badan. Ini kenapa problemnya," jelas dia.

 

Direktur Eksekutif Institute for Tax Reform & Public Policy (INSTEP) Hendi Subandi menilai, perjalanan reformasi perpajakan, serta kebijakan publik lainnya di wilayah ekonomi yang dinamis memerlukan pengawalan bersama seluruh elemen. Sebab dalam menciptakan sistem ekonomi yang tepat, termasuk dalam bidang perpajakan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat selaku wajib pajak.

 

"INSTEP turut serta berkontribusi optimal bagi pembangunan nasional pada umumnya, serta pada pengawalan reformasi perpajakan dan kebijakan publik lainnya," kata Hendi. 

 

Selain itu, lanjut dia, perjalanan reformasi perpajakan serta kebijakan publik lainnya di wilayah ekonomi yang dinamis memerlukan pengawalan bersama seluruh elemen. Penciptaan sistem ekonomi yang tepat (termasuk perpajakan di dalamnya) bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat.

 

Lembaga INSTEP, kata dia, didirikan sebagai mitra eksekutif, legislatif dan masyarakat umum yang berfokus pada pengawalan reformasi perpajakan dan kebijakan.

 

INSTEP adalah lembaga riset dan studi kebijakan yang bersifat independen yang fokus pada pengawalan reformasi perpajakan dan kebijakan publik yang berkeadilan. Kegiatan utama INSTEP fokus pada riset dan studi kebijakan mengenai berbagai isu kebijakan perpajakan dan kebijakan publik di bidang fiskal, pembangunan ekonomi, keuangan daerah, serta pembangunan desa, sebagai upaya partisipasi aktif dalam hal kebijakan publik yang berkeadilan dan pencarian solusi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement