REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang telah menaikkan tarif bea masuk diprediksi tidak berhenti pada produk aluminium dan baja saja. Doktor ekonomi dan perdagangan internasional dari Universitas Indonesia, Fithra F Hastiadi, mengatakan kenaikan tarif tersebut berpotensi meluas ke sektor lain mengingat saat ini defisit perdagangan AS yang terus membengkak.
Jika itu terjadi, maka mitra dagang Amerika bisa saja melakukan 'serangan balasan' yang berbuntut pada perang dagang (trade war). Hal ini setidaknya sudah ditunjukkan oleh Cina yang mengancam akan melakukan retaliasi, tidak hanya di produk impor AS tetapi juga di pasar obligasi.
"Ulah Trump tentu akan diganjar retaliasi oleh partner dagangnya. Ini adalah strategi tit for tat yang akan memicu efek domino secara global," ujar Fithra, lewat keterangan tertulis, Selasa (6/3).
Menurutnya, Asia akan menjadi korban utama dari perang dagang ini. Terutama emerging market yang sangat mengandalkan perdagangan internasional.
Kondisi tersebut pada akhirnya akan membuat perlambatan ekonomi secara global mengingat Asia merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dunia. "Perhitungan saya berdasarkan data runtun waktu, setidaknya akan ada koreksi sebesar 0,5 hingga 0,8 persen dari pertumbuhan ekonomi dunia," kata Fithra.
Bagi Indonesia, Amerika dan Cina merupakan mitra dagang tradisional. Sejak dulu, kedua negara tersebut telah menjadi tujuan utama ekspor produk-produk Indonesia. Karenanya, dengan adanya perang dagang, kinerja perdagangan Indonesia akan ikut terdampak. Fithra memprediksi perang dagang yang disulut Amerika tersebut akan memberikan efek kontraksi pada pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 0,1 sampai 0,2 persen.
Meski dampaknya kecil, ia mengingatkan agar pemerintah tetap harus waspada. Sebab, yang menjadi ancaman sebenarnya adalah kecenderungan naiknya suku bunga internasional.
Untuk meredam dampak dari gejolak perdagangan global tersebut, Fithra mengatakan pemerintah harus segera merealisasikan perjanjian dagang baru dengan negara-negara non-tradisional demi memperluas pasar ekspor. Sementara, dari sisi kebijakan moneter, ia menyebut Bank Indonesia juga harus segera mengambil kebijakan yang tepat untuk meredam ekspektasi luar sambil memperkuat fondasi makro bersama pemerintah.