Pada umumnya tebu diolah menjadi gula kristal putih. Pabrik gula merupakan harapan utama para petani untuk menjual hasil panen tebu.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, angka sementara produksi tebu menurut status penguasaan pada 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 58,67 persen merupakan perkebunan rakyat.
Sayangnya, ketergantungan petani tebu kepada pabrik gula tidak dibarengi dengan harga tebu yang sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Selain itu, kondisi ini diperparah apabila pembelian tebu yang dilakukan pabrik gula tidak langsung dibayarkan.
Salah satu pemecahan masalah tersebut yang dapat ditawarkan adalah mendorong petani untuk mengolah hasil panen tebu menjadi gula merah tebu. Di samping itu, petani tebu juga dapat menjual hasil panen langsung ke pengrajin gula merah tebu. Kedua skema tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan petani tebu kepada pabrik gula.
Setidaknya ada tiga alasan gula merah dapat menjadi alternatif petani tebu untuk menjual hasil panennya. Pertama, pembuatan gula merah dapat dilakukan secara sederhana. Proses produksi gula merah dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan dan bahan yang mudah didapat. Pengrajin gula merah dalam skala rumah tangga dapat menghasilkan 0,8 sampai 1,5 ton gula merah per hari.
Kedua, analisis usahatani gula merah tebu mempunyai nilai RC ratio 1,22 sampai 1,35. Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi gula merah menguntungkan. Nilai keuntungan yang didapatkan di atas Rp 1 juta per hari. Ketiga, potensi pangsa pasar yang cukup besar. Peluang ekspor gula merah ke negara Jepang, Malaysia, Amerika Serikat, Belgia, Kanada, dan Australia masih terbuka lebar.
Saat ini, tercatat setidaknya ada sekitar 244 ton gula merah per tahun diekspor ke Jepang. Angka ini diperkirakan akan terus bertambah seiring perubahan gaya hidup untuk mengonsumsi makanan sehat. Gula merah memiliki kandungan indeks glikemik yang lebih rendah daripada gula pasir, yaitu sebesar 35 ampai 54.
Semua stakeholder, termasuk pemerintah, perlu mendorong agar produsen gula merah dapat meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Selama ini, gula merah yang dihasilkan para pengrajin kurang konsisten kualitasnya. Gula merah dengan kualitas yang baik mampu bersaing di tingkat pasar global sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Di sisi lain, juga perlu diberikan akses informasi untuk memasarkan gula merah.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) saat ini sedang melakukan penelitian dan pengembangan model pertanian bioindustri berbasis tebu. Salah satu output yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah menghasilkan gula merah dengan kualitas ekspor. Langkah ini diharapkan kelak dapat diadopsi oleh para produsen gula merah tebu baik dalam proses pembuatan gula merah maupun produk yang dihasilkan.
Pada akhirnya, dengan semakin menggeliat produksi gula merah tebu dan diimbangi oleh peningkatan kualitas, petani tebu dapat menjual hasil panennya dengan nilai yang lebih tinggi. (Yoga Angangga Yogi/Balittas)