Cemaran aflatoksin pada jagung merupakan salah satu masalah utama pada kegiatan pascapanen jagung. Selain kadar air, ternyata aflatoksin cukup signifikan dalam meningkatkan posisi tawar sehingga jagung bisa diterima oleh pabrik pakan.
Walaupun saat ini nilai jual jagung masih ditentukan oleh kadar air yang terkadung di dalamnya, namun diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan adanya cemaran aflatoksin secara perlahan berdampak terhadap nilai jual jagung.
Seringkali dikeluhkan bahwa jagung yang diproduksi oleh petani mengalami kendala dan penolakan ketika dijual ke pabrik pakan. Selain kadar air jagung, kadar aflatoksin ditengarai menjadi salah satu penyebabnya. Di sisi lain, petani tidak bisa mengetahui dengan mudah bagaimana kualitas jagungnya apakah tercemar aflatoksin atau tidak.
Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh strain yang toksigenik dari A flavus dan A parasiticus. Aflatoksin yang umum ditemukan pada pakan ternak adalah aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Di antara semua jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B1 yang paling berbahaya. Ternak yang mengkonsumsi pakan yang tercemar aflatoksin akan berakibat tidak berfungsinya gastrointestinal, penurunan daya reproduksi, penurunan produksi telur dan susu, serta penurunan kekebalan tubuh pada ternak.
Saat ini, pabrik pakan menetapkan standar mutu jagung yang dapat diterima dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI). Salah satu persyaratan mutu jagung pada SNI 4483:2013 yang sangat penting adalah kandungan mikotoksin terutama aflatoksin. karena selain mempengaruhi mutu juga berkaitan dengan kemananan pangan. Dalam SNI dipersyaratkan kandungan aflatoksin maksimum untuk jagung sebagai pakan ternak Mutu I dan Mutu II, masing-masing 100 ppb dan 150 ppb.
Permasalahannya, petani tidak mengetahui dengan mudah status cemaran aflatoksin pada jagungnya. Kondisi ini menyebabkan posisi tawar petani menjadi rendah ketika menjual jagung ke pabrik pakan. Oleh karena itu, selain perbaikan penanganan pascapanen jagung di tingkat petani, diperlukan pula metode deteksi kontaminan aflatoksin di tingkat petani, sehingga petani mengetahui kondisi mutu jagungnya.
Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Profesor Risfaheri menuturkan, salah satu bentuk dukungan BB Pascapanen terhadap program Kementerian Pertanian dalam upaya peningkatan produksi jagung adalah dengan meluncurkan perangkat uji deteksi aflatoksin pada jagung.
“Dengan tersedianya perangkat uji ini di lapangan, selain memudahkan petani mengetahui mutu jagung dari cemaran aflatoksin, sekaligus dapat dijadikan pedoman oleh petani dalam memperbaiki penanganan pascapanennya,” kata Risfaheri.
Menurut tim peneliti perangkat uji deteksi aflatoksin, Miskiyah, perangkat tersebut mampu menunjukkan bahwa biji jagung yang diduga mengandung aflatoksin akan memendarkan warna fluoresens kehijauan yang khas ketika dipaparkan sinar ultra violet (uv) pada panjang gelombang 365 nm.
Adapun beberapa keunggulan perangkat adalah, pertama, dapat digunakan untuk mengestimasi kadar aflatoksin dengan cepat, kedua, mudah digunakan di lapangan dan dioperasionalkan oleh petani, dan ketiga, harga relatif murah serta terjangkau.