REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mendesak Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk tegas membatasi pemanfaatan batu bara untuk listrik. Kurtubi menilai, bisa saja Sumbar memasang angka 40 persen untuk porsi batu bara dalam bauran energi di Sumatra Barat. Sisanya, difokuskan untuk pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk listrik.
Catatan pemerintah, porsi batu bara dalam bauran energi di Sumbar saat ini masih di atas 50 persen. Sementara pemanfaatan EBT, dalam hal ini pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sudah menyentuh 40 persen.
"Saya merasa roadmap energy mix Sumatra Barat bagus sekali karena batu bara merusak lingkungan. Tapi lebih baik bauran energi untuk batubara di Sumbar dibatasi maksimal 40 persen. Sisanya ya dari air atau panas bumi," kata Kurtubi saat berkunjung ke Sumatra Barat, Senin (19/2).
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan, sudah saatnya Sumatra Barat lebih memberikan porsi pada EBT. Sumatra Barat sendiri, menurutnya, sudah mengambil langkah tepat untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi investor yang ingin membangun pembangkit listrik tenaga EBT, seperti air, biomassa, dan panas bumi.
Terkait dengan sejumlah ganjalan status hutan lindung dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), Gus memastikan pihaknya akan memediasikan Pemprov Sumbar dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ganjalan lainnya, kata Gus, investor yang melirik potensi panas bumi juga kerap terganjal biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang tidak ekonomis.
"Ini bisa disiasati dengan memberikan insentif bagi mereka yang kembangkan EBT. Misalnya, batu bara sampai sekarang paling murah. Namun itu tak bisa dibandingkan apple to apple dengan EBT. Pemakaian batu bara merusak lingkungan dan ada opportunity cost yang harus kita tanggung," katanya.