Selasa 13 Feb 2018 18:00 WIB

Investor Dinilai Berpeluang Besar Beli Saham Bank Muamalat

Yusuf Mansyur menyatakan tertarik membeli saham Bank Muamalat.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Nur Aini
Aktivitas perbankan di Bank Muamalat, Jakarta, Kamis (28/9).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Aktivitas perbankan di Bank Muamalat, Jakarta, Kamis (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Investor dinilai berpeluang besar untuk bisa membeli saham Bank Muamalat Indonesia (BMI), setelah sebelumnya pembeli siaga (stand by buyer) Minna Padi membatalkan rencana pembalian.

Salah satu investor yang menyatakan tertarik membeli saham BMI adalah Ustaz Yusuf Mansyur dengan cara mobilisasi dana umat melalui Paytren Asey Manajemen (PAM). Peneliti Ekonomi Syariah SEBI School of Islamic Economics, Aziz Setiawan, mengatakan, secara umum, berdasarkan amanat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), BMI harus melakukan penguatan modal. Kebutuhan penambahan modal sudah mendesak.

Berdasarkan profil bisnisnya dan secara manajemen, kata dia, BMI sudah memerlukan tambahan modal. Pemegang saham lama belum bisa menambah modal sehingga dibutuhkan pemegang saham baru.

BMI berencana menerbitkan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HEMTD) atau rights issue sebanyak 80 miliar lembar saham atau senilai Rp 4,5 triliun. Sebelumnya Minna Padi telah melakukan penandatanganan perjanjian jual beli bersyarat (CSSA) dengan BMI pada September 2017. Namun, dalam perkembangannya CSSA belum disepakati sampai batas berakhirnya 31 Desember 2017. Alhasil, Minna Padi gagal menjadi stand by buyer Bank Muamalat.

"Karena CSSA tersebut sudah berakhir, jadi lebih terbuka untuk investor baru masuk. Ada ruang besar bagi siapapun untuk masuk ke Bank Muamalat," kata Aziz saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/2).

Menurut Aziz, jika PAM mau membeli saham Bank Muamalat, ada ruang yang besar untuk masuk. Namun, kebutuhan dana dari penerbitan rights issue sebesar Rp 4,5 triliun cukup besar. Hal tersebut menjadi tantangan bagi PAM yang tergolong perusahaan baru.

Terlebih, bank merupakan institusi penggalang dana publik yang membutuhkan modal kuat. Sehingga kerap membutuhkan tambahan modal dari pemegang saham.

"Sehingga, tantangannya pada kebutuhan dana yang besar yang harus dimobilisasi oleh PAM. Bagaimana PAM meyakinkan para investor, meskipun jaringan Ustaz Yusuf Mansyur besar," ujarnya.

Selain itu, kata dia, tantangan lain saat proses masuk ke BMI. Sebab, bank merupakan institusi yang memiliki regulasi tingkat tinggi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat berhati-hati dalam memberikan izin bagi lembaga untuk melakukan pembelian saham di perbankan.

Jika ada investor baru akan masuk menjadi pemegang saham pengendali sebuah bank, butuh assesment dari OJK. Proses tersebut tidak mudah. OJK akan melihat rekam jejak perusahaan tersebut.

"Sehingga bagaimana nantinya Ustaz Yusuf Mansyur meyakinkan PAM sebagai institusi yang kredibel untuk menjadi pemegang saham harus bisa meyakinkan track record dan kepastian ke depan itu baik," ujarnya.

Jika nantinya sudah disetujui OJK dan kemudian PAM masuk ke BMI, kata dia, berikutnya akan dilihat porsi Yusuf Mansyur menjadi pemegang saham mayoritas atau bukan. Jika menjadi pemegang saham mayoritas, maka akan punya pengaruh untuk menentukan posisi dewan komisaris dan memiliki tantangan ke depan dalam membenahi manajemen di Bank Muamalat.

"Karena manajemen di Bank Muamalat menurun, tantangan untuk meningkatkan kembali kinerja bank," ujarnya.

Selama ini, penurunan BMI terlihat pada kualitas kredit yang tercermin dari rasio pembiayaan bermasalah (Nonperforming Financing/NPF) yang cukup tinggi dan profitabilitas. Aziz menilai, peningkatan NPL dan penurunan profitabilitas BMI bukan karena kinerja bisnis, melainkan dampak dari revaluasi aset.

"Memang agak berat. Apalagi selama ini, komisaris Bank Muamalat dijabat oleh orang asing, sehingga tidak memiliki waktu penuh dan kontrol yang kuat, sehingga tata kelola tidak kuat," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement