Ahad 04 Feb 2018 20:58 WIB

Petani Inginkan Gernas Kakao Berlanjut

Guna menjaga produktivitas kebun masyarakat

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Hazliansyah
 Petani memanen kakao di perkebunan Gambiran, Bunder, Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu (1/10).
Foto: Republika/ Musiron
Petani memanen kakao di perkebunan Gambiran, Bunder, Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, LUWU UTARA -- Gerakan Nasional (Gernas) Kakao diakui Abdul Rauf, petani kakao asal Desa Batu Alang Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan cukup membantu petani. Namun, masih banyak petani yang belum mendapatkan bantuan dari program tersebut.

"Bahkan saat ini kondisi kebunnya rusak," ujar Abdul Rauf, Ahad (4/2).

Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, hanya sekitar 27 persen dari total luas areal tanaman kakao yang ada saat ini sekitar 1,7 juta hektare (data 2016), yang menerima bantuan.

Ia pun berharap agar bantuan seperti Gernas Kakao dapat diadakan kembali guna menjaga produktivitas kebun masyarakat. Apalagi, kata dia, saat ini harga kakao kurang baik.

"Kalau berkepanjangan dan produksi kebun masyarakat rendah maka akan banyak masyarakat yang akan ganti tanaman kakaonya," ujar Abdul.

Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (PUSLITKOKA), Misnawi, mengatakan, untuk bisa meningkatkan produksi nasional yang diperkirakan minimal 5 persen dari total areal perkebunan kakao nasional, harus dengan cara /replanting berkelanjutan. Baik swadaya masyarakat atau pemerintah.

"Tapi jelas, hal itu membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga dengan adanya dana komoditas yang dikutip dari ekspor kakao maka pelaksanaan program peningkatan produktivitas kakoa dapat dilakukan secara konsisten," ujar dia.

Dana tersebut bisa didapatkan dengan adanya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) kakao seperti di sawit.

Selain /replanting, lanjut Misnawi, dana pengembangan kakao juga dibutuhkan untuk penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan juga riset. Terkait penelitian diperkirakan kebutuhan penelitian kakao paling sedikit Rp 5 miliar setiap tahunnya.

"Maka dengan dukungan riset yang besar PUSLITKOKA dapat melakukan akselerasi dalam menghasilkan bahan tanam baru, penerapan bioteknologi dan inovasi teknologi dalam hal budidaya dan pengolahan," kata Misnawi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement