REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, upaya Parlemen Eropa dalam menghapus penggunaan biodiesel dari minyak sayur pada 2030 dan berbahan kelapa sawit, termasuk dari Indonesia pada 2021, harus disikapi dengan meningkatkan daya saing.
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan, Eropa juga mempunyai kepentingan mempertahankan minyak nabati mereka. Sehingga Eropa akan melakukan apapun untuk mempertahankan kepentingan tersebut.
"Menurut saya tidak semudah itu menghilangkan biodisel masalah energi terbarukan. Dengan kapasitas energi Indonesia yang luar biasa justru sekarang mulai sekarang kita perbesar lenggunaan biodiesel dalam negeri," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (14/1).
Menurut Hariyadi, kebutuhan energi di dalam negeri besar. Namun, selama ini pemanfaatan biodiesel belum optimal. Sehingga pemangku kepentingan harus berpikir supaya harga bidiesel dalam negeri lebih kompetitif.
Hariyadi menyatakan, potensi Indonesia yang luar biasa dalam produksi kelapa sawit akan selalu ada yang menghambat. Namun, hambatan tersebut bisa diatasi jika pemerintah dan pemangku kepentingan serius. Dengan cara memiliki daya saing sehingga harga kelapa sawit kompetitif.
"Kelapa sawit tidak hanya bisa dijadikan produk biodiesel, tapi juga bahan makanan dan farmasi. Harus ditingkatkan. Jangan nanggung. Indonesia menjadi eksportir terbesar harus membuat diversifikasi turunannya," ujar Hariyadi.
Selain itu, menurut Hariyadi, tidak mudah untuk mengubah agar beralih menggunakan minyak nabati. Hal itu harus menghitung kemampuan dan kapasitas area di Eropa. Sebab, minyak nabati berbeda dengan minyak lain.
Hariyadi menambahkan, selama ini kebijakan Pemerintah tarik ulur. Jika harga minyak murah pemerintah memilih impor. Karenanya, Apindo meminta Pemerintah harus konsisten dalam kebijakan. "Itu dilakukan Brasil yang maju untuk biodiesel karena serius menata ketahanan energi," kata Hariyadi.