REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chairman of Legal, Policy Advocacy, and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar mengatakan, pengembang energi baru terbarukan meminta agar pemerintah mencabut penerapan skema build own operate transfer (BOOT). Sebab, skema ini dinilai dapat merugikan pengusaha.
Penerapan skema BOOT pada pembangkit listrik yang dibangun pengembang listrik swasta diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dengan menerapkan skema BOOT aset pembangkit listrik yang dibangun pengembang swasta menjadi milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) setelah kontrak berakhir. Mengenai masa kontrak, diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 10/2017 yang menyebutkan bahwa maksimum masa kontrak berlaku 30 tahun setelah proyek beroperasi secara komersial.
"Kalau dari pengusaha inginnya aturan itu dicabut, intinya karena ada kewajiban untuk transfer setelah 30 tahun," ujar Paul ketika ditemui di Istana Wakil Presiden, Jumat (22/12).
Terkait hal ini, Asosiasi Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi menggelar pertemuan dengan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla, beserta Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar. Selain keberatan dengan kewajiban transfer, para pengusaha juga tidak setuju dengan harga kontrak biaya kapasitas pada harga jual tenaga listrik dihitung berdasarkan nilai investasi yang didepresiasi sekurang-kurangnya 20 tahun.
Paul mencontohkan dengan hitung-hitungan secara kasar, harga kontrak biaya kapasitas yang akan mereka terima diperkirakan 1.000 dolar AS untuk semua aset. Menurutnya, harga tersebut tidak menguntungkan bagi pengusaha.
"Bagaimana mungkin kita beli lahan, misal solar panel 50 hektare di Jawa, misalnya hanya dibayar 1.000 dolar AS. Siapa yang mau 1.000 dolar AS untuk semua aset," kata Paul.
Paul mengatakan, pengembang energi baru terbarukan telah menyampaikan usulan ini kepada Kementerian ESDM. Namun sampai saat ini belum ada langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Oleh karena itu, asosiasi bersama dengan Kementerian ESDM melakukan audiensi dengan wakil presiden untuk meminta masukan.
"Boleh dikatakan Pak Jusuf Kalla bisa menangkap keinginan pengembang, sehingga Pak Jusuf Kalla memberikan arahan agar dicari caranya bagaimana investasi EBT (energi baru terbarukan) bisa terlaksana," ujar Paul.
Ketum Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga AirRiza Husni mengatakan, dalam rapat tersebut, wakil presiden memberikan masukan agar Kementerian ESDM dan PT PLN dapat mendengarkan keluhan dan masukan dari asosiasi. Selain itu, wakil presiden meminta agar asosiasi membuat usulan tertulis yang disampaikan melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Riza menilai, aturan BOOT ini tidak berpihak kepada pengusaha. Karena, pengusaha telah membangun diatas tanah dengan tarif non subsidi dan mengikuti suku bunga komersil. Selain itu, pengusaha juga masih dikenakan pajak hibah. Sehingga, jika dalam kurun waktu 30 harus diserahkan kepada PLN, maka menurut Riza, aturan ini tidak masuk akal. Riza berharap, Kementerian ESDM mau melakukan dialog dua arah.
"Mudah-mudahan, selama ini kami mau dialog, tapi Pak Jonan (Menteri ESDM) sepertinya nggak mau kalau dialog dua arah, itu yang menjadi handicap," kata Riza.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Baru Terbarukan Halim Kalla mengatakan, selama ini Indonesia cukup jauh terbelakang dalam pengembangan EBT. Padahal banyak pengusaha yang antusias namun tertahan oleh harga dan tarif yang rendah, serta aturan yang tak menguntungkan.
"Kita sangat tertarik, tetapi regulasi taj bagus sehingga ini tak menarik," ujar Halim.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah sedang mengkaji usulan dari asosiasi tersebut. Menurutnya, usulan dari asosiasi ini adalah masukan yang sangat berharga bagi pemerintah dan akan ditindaklanjuti lagi. "Akan kita tinjau, akan kita lihat, akan kita evaluasi, keputusannya nanti," ujar Arcandra.