REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) menganjurkan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa melakukan sinkronisasi terkait dengan penyebaran lahan gambut yang saat ini digunakan oleh banyak perusahaan. Pemetaan ini penting karena akan berpengaruh pada rencana kerja usaha (RKU) perusahaan dan daerah mana yang bisa dijadikan kawasan hutan lindung.
Anggota HITI Profesor Yanto mengatakan, sejauh ini data yang dirilis KLHK mengenai luasan lahan gambut yang telah menjadi hutan lindung atau yang dijadikan lahan usaha bagi industri belum tepat. Data tersebut tidak sesuai dengan data yang dimiliki perusahaan.
Yanto menuturkan, seharusnya KLHK bisa meminta seluruh perusahaan yang selama ini memanfaatkan lahan gambut membuat peta untuk kemudian divalidasi oleh tim independen yang bisa mencocokan data dari kedua belah pihak.
"Kalau ada validasi dari perusahaan dan KLHK pasti peta lahan gambut ini bisa lebih baik. Karena sama-sama ada koreksi," kata Yanto dalam konferensi pers, Selasa (13/12).
Dia menjelaskan, pemetaan lahan gambut yang kurang tepat ini membuat perusahaan bisa kebingungan dengan lahan yang telah mereka gunakan. Karena bisa saja ketika lahan yang diklaim KLHK nyatanya bukan lahan gambut seperti yang diinformasikan ke perusahaan-perusahaan. Hal tersebut akan berdampak pada operasinal perusahaan yang telah dirancang sedari awal.
Persoalan ini kemudian bisa berlanjut pada rencana kerja usaha (RKU) yang dipersiapkan atau telah dimiliki masing-masing perusahaan yang telah memanfaatkan lahan gambut. Ketika pemetaan lahan gambut tidak sesuai, maka akan ada perusahaan yang menolak melakukan revisi RKU.
KLHK mungkin bisa menekan perusahaan dengan mencabut RKU ketika tidak melakukan revisi. Namun, ketika perusahaan merasa ada kejanggalan tapi tidak ingin menimbulkan keributan, maka mereka bisa saja membuat revisi RKU yang tidak tepat. "Istilahnya RKU 'palsu'. Asal ada saja untuk memenuhi persyaratan. Tapi implementasi di lapangan tidak sesuai," ujar Yanto.
Menurutnya, terdapat sebuah perusahaan sawit di Kalimantan Tengah yang melakukan revisi RKU hanya karena diminta oleh KHLK. Padahal lahan yang dipergunakan tidak sesuai dengan data yang diberikan KLHK. Namun, karena RKU ini hukumnya wajib, maka mau tidak mau perusahaan tersebut pun memenuhinya meski data yang digunakan kurang valid.