Rabu 29 Nov 2017 21:18 WIB

Kuliahkan Anak Berbekal Bajaj BBG

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Abdori hendak beristirahat di kamar sewaan di daerah Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat, setelah seharian bekerja sebagai supir bajaj BBG. Anaknya, Aris Munandar, sedang sibuk dengan laptopnya.
Foto: Umar Mukhtar/Republika.co.id
Abdori hendak beristirahat di kamar sewaan di daerah Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat, setelah seharian bekerja sebagai supir bajaj BBG. Anaknya, Aris Munandar, sedang sibuk dengan laptopnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Umar Mukhtar/Wartawan Republika.co.id

 

Abdori sedang menepikan bajaj ke sisi Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, saat petang hari. Wajahnya tampak berpeluh dan kusam. Mengemudikan bajaj dari pagi hingga petang di Jakarta sudah menjadi rutinitas sehari-harinya.

Dori, sapaan akrabnya, memang berbeda dari sopir bajaj kebanyakan. Umumnya sopir bajaj beristirahat di siang bolong dengan menepi di pinggir jalan. Namun, ia baru rehat saat matahari hendak tenggelam. Ia memang dikenal ulet di kalangan rekan-rekannya.

Bapak berusia 56 tahun itu jarang sekali memangkal di satu titik dalam waktu yang lama. Di siang hari pun, saat pengemudi bajaj yang lain beristirahat dan makan di pangkalan dekat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dia tetap berkeliling. Itu diakui temannya yang juga pengemudi bajaj, Juki.

"Dia mah kalau siang habis zhuhur masih keliling, makannya di jalan sambil cari penumpang itu, bukan di sini (pangkalan)," kata Juki Kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Dori biasanya baru terlihat di pangkalan saat maghrib, itu pun sebentar. Setelah menghela napas dan bercengkerama sebentar dengan rekan-rekan sesamanya, Dori turun ke jalan kembali dengan bajaj biru. Ia biasanya baru pulang pada jam setengah 10 malam.

Bagi Dori, tiap putaran roda yang dilesatkan, tiap keringat yang menetes dari pori-pori kulitnya, adalah untuk masa depan keluarganya. "Kalau enggak tekun benar narik bajaj, ya enggak dapat duit. Enggak tekun, ya, enggak sukses," ujar Dori.

Dori biasa mulai narik bajaj dari jam setengah delapan pagi. Dia selalu berkeliling mencari penumpang di Jakarta Pusat, khususnya di Kemayoran dan sekitarnya. Dia lebih memilih jemput bola ke tempat-tempat ramai daripada memangkal di satu tempat. Ini semata-mata demi mendapatkan banyak penumpang, terutama di sekolah dan pasar.

Selama lebih dari 20 tahun, pria asli Tegal, Jawa Tengah, itu telah menjadi pengemudi bajaj di Jakarta. Baginya, mengendarai bajaj adalah jalan hidup. Ia tak mungkin menjadi seperti sekarang tanpanya. Alur kehidupannya pun lambat laun berubah, terutama setelah mengemudikan bajaj berbahan bakar gas (BBG). Karena bajaj-nya memakai BBG yang diproduksi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) ini, dia bisa menabung lebih banyak untuk kebutuhan keluarga.

Seharian berkeliling mengangkut dan mengantarkan penumpang, Dori hanya mengeluarkan biaya pembelian bahan bakar gas (BBG) sekitar Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu. Jumlah biaya ini sudah bisa membuat dia narik bajaj dari pagi sampai malam.

Dalam satu hari, ia biasa memperoleh pendapatan Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu dengan keuntungan bersih sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per hari. Itu karena bajaj yang ia kendarai bukan miliknya, melainkan kepunyaan pihak ketiga sehingga Dori pun harus memberikan setoran. Rata-rata, Dori bisa mendapatkan uang sekitar Rp 2,5 juta dalam sebulan.

Bajaj BBG, menurut dia, memang memiliki banyak kelebihan. Selain hemat bahan bakar, kendaraan tersebut ia nilai tidak rewel sehingga jarang masuk bengkel. Itu berbeda dengan bajaj sebelumnya yang harus sering bolak-balik masuk bengkel. Pernah pula dia terpaksa menganggur selama dua hari karena bajajnya rusak. "Bajaj yang ini jarang rusak. Narik terus. Kalau yang dulu, sering masuk bengkel. Pernah enggak narik dua hari," tutur dia.

Lewat bajaj BBG, bapak dari tiga anak itu bisa menguliahkan anak pertama dan keduanya. Anak pertamanya laki-laki, bernama Aris Munandar. Dua anak lainnya perempuan. Dian Rahmawati dan Dian Defani, namanya. Aris, 22 tahun, menempuh pendidikan tinggi di Universitas 17 Agustus di bilangan Sunter, Jakarta Utara.

Aris menekuni ekonomi dan kini sudah memasuki semester VIII sehingga dalam waktu dekat ia akan diwisuda. Meski belum lulus, ia kini sudah bekerja di salah satu perusahaan media televisi terkemuka di Jakarta Pusat di bagian general affair. Berbekal pendapatan dari perusahaan, Aris bisa membeli laptop untuk menunjang kegiatan perkuliahannya.

Tiga tahun perkuliahan Aris dibiayai ayahnya. Biaya per semesternya Rp 3 juta. Dori pun harus banting tulang mengumpulkan uang dari hasil pendapatannya sebagai sopir bajaj BBG. Alhasil, Dori bisa memiliki tabungan dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya. Tabungan inilah yang ia gunakan untuk membiayai kuliah anaknya.

Sementara, adiknya Aris, Rahmawati, 19 tahun, juga sudah menginjak pendidikan tinggi. Putri pertama Dori saat ini masih sebagai calon perawat karena tengah menempuh pendidikan di salah satu akademi keperawatan di Tegal, Jawa Tengah. Ya, pendidikan adalah nomor satu bagi Dori. Hanya lewat jalan itulah derajat keluarganya bisa terangkat dan anak-anaknya bisa menggenggam masa depan yang cerah.

Putri terakhirnya, Defani, 16 tahun, saat ini masih mengenyam pendidikan tingkat menengah atas di kampung. Kurang dari dua tahun lagi, Defani sudah waktunya menginjak pendidikan di perguruan tinggi. Dia harus kuliah dan ayahnya siap mendukung dengan tabungan yang sudah dipersiapkan.

Ada cara tersendiri bagi Dori untuk mempersiapkan itu. Rupanya dia seorang ayah yang berpikir matang sebelum berbuat sesuatu. Dia sudah tahu langkah apa yang harus dilakukan sebelum Defani jatuh di usia yang membuatnya harus duduk di bangku kuliah.

Setahun yang lalu, pikiran Dori sudah melayang bahwa anaknya, Defani, dua atau tiga tahun lagi akan mengenyam pendidikan tinggi. Tentunya butuh uang untuk itu. Sejak setahun belakangan pula ia telah mengumpulkan Rp 10 ribu setiap hari yang disisihkan setelah seharian menyopir bajaj BBG. Nominal uang tersebut wajib ada baginya. Setahun sudah terlewati, kalikan saja Rp 10 ribu dengan 360 hari.

"Dari sebelumnya harus sudah ada tabungan, Rp 10 ribu itu dimasukin ke tabungan, satu tahun kan sudah ketahuan. Harus ada," kata dia mantap. Bagi Dori, seluruh anaknya harus merasakan pendidikan tinggi dengan harapan kelak menjadi orang sukses. Ia pun tidak mau bersantai-santai saat melakoni hidup sebagai sopir bajaj. "Kalau nyantai, takutnya anak enggak bisa makan, enggak bisa dapat uang (untuk) sekolah," lanjutnya.

Yang banting tulang mengurus persoalan ekonomi bukan hanya Dori sendiri. Ia dibantu oleh istrinya, Ningrum (46 tahun), yang bekerja sebagai buruh cuci di sebuah apartemen di Jakarta Pusat. Dari pekerjaan istrinya itu, Dori mengatakan, ada tambahan pendapatan senilai Rp 1 juta tiap bulan.

Dari uang yang mereka kumpulkan, ada yang digunakan untuk membayar sewa kamar kosan yang luasnya hanya sekitar 2 x 3 meter di Kelurahan Kebon Kosong, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Selama di Jakarta, Dori dan istrinya tinggal di sana. Sewa bulanan kamar tersebut Rp 300 ribu. "Kalau dihitung-hitung, ya banyak (pengeluaran). Tapi, alhamdulillah, bisa ketutup," paparnya.

Apalagi, Dori juga diuntungkan dengan adanya uang arisan yang bisa digunakan untuk kebutuhan dua putrinya di kampung, tepatnya di Desa Randusari, Kecamatan Pagerbarang, Tegal, Jawa Tengah. Di kampung kelahirannya itu pula, Dori kini bisa membangun rumah untuk keluarganya.

Melihat perjuangan kedua orang tua, putra pertama Dori, Aris, merasa termotivasi dengan usaha ayahnya yang terus banting tulang membiayai anak-anaknya agar bisa kuliah. Ia mengakui, ayahnya memang ulet sehingga bisa menyekolahkan dua anaknya sampai ke jenjang pendidikan tinggi. "Ya, pengennya sih mengubah kondisi keluarga juga, keuletan Bapak ini jadi dorongan saya buat sukses. Butuh niat yang kuat," ucap dia.

Manfaat

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengungkapkan, PGN akan terus menyalurkan manfaat gas bumi ke berbagai pengguna dan berbagai daerah di Indonesia, termasuk bagi para sopir bajaj BBG. "Dengan semakin banyak CNG atau gas bumi yang dikonsumsi bajaj, maka akan memberikan manfaat besar tidak hanya bagi sopir bajaj saja, tapi juga masyarakat dan negara," ujar pria yang akrab disapa Temmy itu.

Ia memaparkan, PGN menyalurkan gas bumi untuk moda transportasi angkutan kota, taksi, sampai bajaj. Saat ini, ada 10 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dan 4 mobile refueling unit (MRU) yang dibangun di beberapa daerah untuk memasok gas bumi ke bajaj. Misalnya Batam, Lampung, Jakarta, Purwakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor, Surabaya, Bandung, dan Gresik.

Menurut Temmy, infrastruktur SPBG dan MRU yang dioperasikan PGN masih sangat cukup memenuhi kebutuhan bahan bakar gas untuk bajaj saat ini. Bahkan, PGN siap memasok berapa pun kebutuhan gas bumi untuk bajaj. PGN bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan berbagai pihak lainnya terus mendorong semakin banyak transportasi massal berbahan bakar gas.

PGN pada tahun ini mendapatkan penugasan dari Kementerian ESDM untuk membagikan 2.000 converter kit ke angkutan kota dan mobil dinas sampai taksi di berbagai daerah yang terdapat SPBG atau MRU. Ini untuk memberikan kontribusi secara bertahap sehingga penggunaan gas bumi untuk transportasi pun makin meningkat. "PGN satu-satunya badan usaha yang menyalurkan gas bumi ke hampir seluruh segmen, mulai dari industri, pembangkit listrik, usaha komersial, hingga rumah tangga dan transportasi," tuturnya.

Temmy juga menjelaskan, gas bumi merupakan energi yang bersih, aman, dan lebih hemat dibanding bahan bakar fosil lain. Terlebih, Indonesia memiliki cadangan dan produksi gas bumi cukup besar sehingga energi ini tidak perlu diimpor dan tidak perlu disubsidi negara. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement